Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Optimisme Palsu

1 April 2025   08:34 Diperbarui: 1 April 2025   08:34 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi terdampar di pulau dengan dua pohon kelapa. (Generated by Dall-E)

Suatu hari, sepasang suami istri terdampar di sebuah pulau kecil setelah kapal pesiar mereka karam. Seperti lazimnya kisah-kisah klise tentang keterasingan, mereka mendapati diri mereka di pulau yang hanya memiliki satu pohon kelapa---ikon klasik dari keterbatasan dan kesendirian. Namun dalam versi kisah ini, ada sedikit twist: mereka menemukan bukan satu, melainkan dua pohon kelapa. Tambahan itu tampak sepele, tetapi entah kenapa membuat situasi tampak sedikit lebih "beruntung."

Dengan sisa baterai di ponsel mereka yang kebetulan masih terhubung ke satelit, mereka memotret diri dengan latar dua pohon itu dan mengirimkannya ke grup pertemanan mereka. Responsnya di luar dugaan: "Wah, kalian beruntung banget! Biasanya cuma ada satu pohon kelapa!" Mereka bukan lagi korban kecelakaan yang terdampar dan membutuhkan pertolongan, tapi justru dijadikan simbol keberuntungan karena variasi vegetasi yang sedikit lebih banyak.

Ini bukan hanya lelucon absurd. Ini adalah alegori dari realitas sosial kita hari ini. Ketika satu pohon tak menyelamatkan, dua pohon tetap tak membawa perubahan berarti. Namun narasinya dibumbui dengan optimisme palsu, seolah-olah jumlah adalah makna, dan penambahan adalah kemajuan.

Optimisme palsu adalah barang dagangan favorit para motivator. Mereka menjual harapan dengan harga murah, meracik kata-kata yang memabukkan dengan janji semu bahwa segalanya bisa lebih baik jika kita ubah mindset, keluar dari zona nyaman, atau cukup "bersyukur karena kita masih punya dua pohon kelapa" dalam hidup ini.

Saya menyebut ini sebagai ilusi afirmatif: ketika kenyataan tak berubah, tapi narasi disulap agar tampak lebih cerah. Ini bukan kebohongan yang terang-terangan, melainkan tipu daya halus yang membuat orang berhenti bertanya. Padahal, pertanyaan adalah awal dari kesadaran. Dan kesadaran adalah musuh utama dari status quo.

Dalam politik, praktik ini jamak kita temukan. Pemerintah menaikkan subsidi seribu rupiah dan menyebutnya sebagai kebijakan pro-rakyat. Birokrasi menambah satu loket layanan dan mempromosikannya sebagai reformasi administrasi. Seolah-olah penambahan kuantitatif otomatis melahirkan perubahan kualitatif. Mereka lupa, atau sengaja mengaburkan fakta, bahwa dua pohon kelapa di pulau terpencil tetap tidak mengubah kenyataan: manusia masih lapar, masih haus, dan masih sendiri.

Optimisme palsu adalah anestesi sosial. Ia meninabobokan kita agar tidak gelisah, tidak protes, dan yang terpenting: tidak berpikir. Ia menyuruh kita bersyukur, bukan bertanya. Ia memaksa kita melihat cahaya, bahkan ketika yang ada hanya pantulan dari plastik yang dipoles. Dalam dunia yang semakin terobsesi dengan citra dan presentasi, narasi menjadi lebih penting dari substansi. Dan para motivator menjadi nabi-nabi baru dari agama yang disebut "positivitas toksik."

Tentu, optimisme tidak selalu salah. Tetapi optimisme yang lahir dari kebutaan terhadap realitas hanyalah candu. Ia bukan harapan yang membebaskan, melainkan harapan yang mengekang. Ia tidak menyalakan api perlawanan, melainkan memadamkannya dengan embun palsu. Kita diajari untuk melihat dua pohon sebagai keberuntungan, bukan sebagai jebakan.

Dari sudut pandang sosiologi, masyarakat yang dicekoki dengan optimisme palsu cenderung mengalami depolitisasi. Mereka tidak lagi melihat struktur sebagai penyebab, melainkan diri mereka sendiri sebagai biang kegagalan. Gagal bukan karena sistem tak adil, tapi karena kita kurang bersyukur, kurang semangat, atau kurang usaha. Ini adalah bentuk individualisasi masalah struktural, yang menjadi ciri khas dari neoliberalisme budaya.

Dalam kerangka filsafat, ini mencerminkan apa yang disebut oleh Nietzsche sebagai "moralitas budak"---di mana yang lemah diajari untuk merasa puas dalam penderitaan, bukan memberontak. Optimisme palsu adalah alat dari moralitas budak: ia membentuk mentalitas tunduk, bukan merdeka. Dalam masyarakat semacam ini, dua pohon kelapa bisa cukup untuk mematikan hasrat akan perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun