Sebuah Kisah dari Perpustakaan Sederhana
Siapa bilang perpustakaan selalu identik dengan tempat yang serius, hening, dan penuh orang berkacamata? Sore itu, saya malah menemukan diri saya merenungkan kipas angin tua, lampu jadul, dan partisi dengan tulisan aneh di sebuah sudut perpustakaan sederhana. Suasana mendadak berubah dari serius jadi penuh humor kecil yang membuat saya tersenyum sendiri.
Kipas Angin yang Setia
Pertama-tama, mari kita bicarakan kipas angin tua itu. Bayangkan kipas yang bertengger di plafon seperti pahlawan masa lalu—sudah tua, berbunyi "krek-krek," tapi tetap bekerja dengan tekad baja. Saya pikir, mungkin kipas ini adalah saksi bisu perjuangan mahasiswa yang mengerjakan tugas hingga larut malam.
"Hei, aku di sini bukan cuma buat estetik, loh!" begitu kira-kira kalau kipas itu bisa bicara. Meski modelnya jadul, siapa yang bisa menyangkal kehebatannya dalam mengusir gerah? Mungkin kipas ini adalah simbol keberlanjutan: tetap berfungsi meski sudah melewati masa keemasannya. Sebuah pelajaran hidup, bukan?
Namun, saya juga sempat berpikir, apakah sudah waktunya menggantinya dengan kipas modern yang lebih hemat energi? Di tengah gencarnya kampanye ramah lingkungan, mengganti kipas tua dengan teknologi hemat energi tampaknya ide yang masuk akal. Tapi kalau kipas tua ini dibuang, siapa yang akan bercerita tentang masa kejayaan kipas plafon jadul?
Lampu Tua, Cahaya Nostalgia
Setelah kipas, perhatian saya beralih ke lampu TL (Fluorescent). Modelnya seperti peninggalan tahun 80-an, dengan warna putih pucat yang membuat ruangan terasa hangat sekaligus... ya, kuno. Sebenarnya, lampu ini masih cukup terang untuk membaca, tapi saya jadi bertanya-tanya: kenapa tidak diganti saja dengan lampu LED yang lebih hemat energi?