Swedia, salah satu negara yang dikenal dengan inovasi pendidikan, baru-baru ini mengambil langkah besar dengan kembali mengutamakan buku cetak dan tulisan tangan dalam proses belajar-mengajar. Keputusan ini didasarkan pada data yang menunjukkan penurunan kemampuan membaca siswa. Berdasarkan laporan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), skor membaca siswa kelas empat Swedia turun dari 555 poin pada tahun 2016 menjadi 544 poin pada tahun 2021. Langkah Swedia ini menjadi refleksi penting bagi sistem pendidikan di Indonesia, terutama dalam era digitalisasi pendidikan yang semakin masif.
Dampak Teknologi dalam Pendidikan
Indonesia sendiri telah mengadopsi teknologi secara besar-besaran, terutama setelah pandemi COVID-19. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (d/h Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa lebih dari 73% sekolah di Indonesia menggunakan perangkat digital untuk pembelajaran selama pandemi. Namun, survei yang dilakukan pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa 42% siswa mengalami kesulitan memahami materi yang diajarkan secara daring, dan hanya 27% guru merasa nyaman menggunakan teknologi digital dalam proses pengajaran.
Sementara teknologi memberikan akses informasi yang luas, efek negatif dari penggunaan berlebih juga tidak bisa diabaikan. Penelitian oleh UNICEF pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa 52% siswa di Indonesia menghabiskan lebih dari 4 jam sehari di depan layar, yang berdampak pada penurunan kemampuan konsentrasi, gangguan tidur, dan kurangnya interaksi sosial.
Pelajaran dari Kebijakan Swedia
Langkah Swedia untuk kembali ke pembelajaran berbasis buku cetak dan tulisan tangan tidak hanya sekadar langkah simbolis, tetapi berbasis data. Sebagai tambahan, pemerintah Swedia mengalokasikan 60 juta euro (sekitar Rp1 triliun) pada tahun 2023 untuk memastikan ketersediaan buku cetak di setiap sekolah. Selain itu, Institut Karolinska menemukan bahwa penggunaan perangkat digital secara intensif dapat mengurangi kemampuan siswa dalam memahami dan mengkritisi teks yang kompleks.
Di Indonesia, tren serupa dapat dilihat dalam hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018. Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara dalam kemampuan membaca, yang menunjukkan adanya tantangan besar dalam meningkatkan literasi siswa. Dengan adopsi teknologi yang meluas, risiko memperburuk tren ini semakin nyata.
Mengapa Indonesia Harus Belajar dari Swedia
Penurunan Kualitas Literasi
Data menunjukkan bahwa meskipun penggunaan teknologi meningkat, kemampuan membaca siswa Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Hasil survei PIRLS 2021 menunjukkan bahwa skor literasi siswa Indonesia masih di bawah rata-rata global, yaitu 396 poin dibandingkan rata-rata global 500 poin.Ketergantungan pada Teknologi
Sebuah studi oleh World Bank pada 2022 menemukan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia di kota besar lebih bergantung pada perangkat digital untuk belajar, sementara siswa di daerah terpencil kesulitan mengakses sumber daya digital. Ketidakseimbangan ini memperlebar kesenjangan pendidikan.Dampak pada Kesehatan dan Sosialisasi
Di Swedia, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 50% remaja berusia 15 tahun kurang tidur akibat penggunaan layar berlebihan. Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan (2019)Â menemukan bahwa 30% anak usia sekolah mengalami gangguan kesehatan akibat paparan layar berlebihan, seperti gangguan mata dan obesitas.
Rekomendasi untuk Indonesia
Evaluasi Digitalisasi
Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan digitalisasi pendidikan dengan mengutamakan dampak jangka panjang terhadap kemampuan kognitif dan emosional siswa. Seperti Swedia, Indonesia perlu memastikan bahwa pembelajaran digital tidak menggantikan metode konvensional sepenuhnya.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!