Kisah ini dimulai dari seorang bernama Abu Nawas, sosok yang terkenal dengan kecerdikannya. Ketika tetangganya membeli mobil baru seharga 499.000.000, Abu Nawas merasa tidak bisa kalah. Ia ingin membeli mobil baru dengan harga lebih tinggi, 499.999.000. Namun, karena tidak ada mobil dengan harga tersebut, ia memutuskan membuat iklan menjual mobil yang sama dengan harga 499.999.000, lengkap dengan nomor kontaknya.
Seminggu berlalu tanpa ada pembeli. Akhirnya, Abu Nawas sendiri membeli mobil itu dari iklan yang ia buat dengan meminjam uang dari saudaranya. Setelah transaksi selesai, ia mengembalikan uang pinjaman tersebut, menciptakan ilusi bahwa ia telah mengungguli tetangganya. Dalam dunia Abu Nawas, kalah bukanlah pilihan --- bahkan jika harus bermain-main dengan realitas.
Kisah ini tampak seperti lelucon cerdas, tetapi jika dipindahkan ke panggung politik Indonesia, maka cerita ini menjelma menjadi satire menyakitkan. Sebab, praktik serupa sering terjadi dalam politik kita: bukan tentang melayani rakyat, melainkan sekadar memenangkan kompetisi ego.
Mari kita mulai dari fenomena janji politik. Setiap pemilu, panggung politik penuh dengan janji-janji yang seolah-olah spektakuler. Mirip dengan iklan mobil Abu Nawas, politisi menjual mimpi-mimpi besar: infrastruktur megah, penghapusan kemiskinan, dan pendidikan gratis untuk semua. Tetapi apa yang terjadi setelah mereka menang? Janji itu sering kali hanya mereka "beli kembali" --- artinya, tidak ada yang berubah selain narasi baru untuk menutupi kegagalan. Rakyat, yang menjadi penonton, hanya bisa menghela napas sambil bertanya, "Bukankah itu janji yang sama lima tahun lalu?"
Seperti Abu Nawas meminjam uang dari saudaranya, politisi juga meminjam uang dari rakyat --- melalui pajak, utang negara, dan anggaran publik. Namun, hasil dari "pinjaman" itu sering kali tidak kembali dalam bentuk manfaat nyata. Alih-alih, kita melihat proyek-proyek mercusuar yang tampak megah tetapi miskin fungsi. Dari ibu kota baru yang masih berupa mimpi hingga stadion megah yang jarang digunakan, semuanya terasa seperti perlombaan "siapa yang lebih mahal" --- persis seperti Abu Nawas yang ngotot agar mobilnya terlihat lebih bernilai dari milik tetangganya.
Kemudian, mari kita lihat budaya iklan politik. Seperti Abu Nawas memasang iklan mobilnya dengan harga "fiktif," politisi juga sibuk memasarkan diri mereka melalui baliho raksasa, iklan televisi, dan kampanye media sosial. Wajah mereka menghiasi jalanan dengan senyum lebar, disertai slogan-slogan kosong seperti "Untuk Rakyat," atau "Bersama Kita Bisa." Namun, di balik itu, substansi nyaris nihil. Iklan menjadi sekadar alat untuk menciptakan ilusi keunggulan, sementara persoalan riil seperti korupsi, kemiskinan, dan ketimpangan hanya menjadi latar belakang gelap yang terus dibiarkan.
Dalam politik, sebagaimana dalam kisah Abu Nawas, tujuan utamanya sering kali bukanlah solusi, melainkan pencitraan. Persis seperti Abu Nawas yang ingin mengungguli tetangganya, banyak politisi sibuk bersaing dengan rival mereka untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat --- lebih populer, lebih berkuasa, atau lebih banyak "proyek." Kompetisi ini sering kali mengorbankan kepentingan rakyat yang sebenarnya.
Ironisnya, baik Abu Nawas maupun politisi Indonesia selalu merasa menang, bahkan ketika yang dilakukan hanyalah menciptakan kemenangan semu. Skandal korupsi diakhiri dengan pernyataan klise, "Kami akan introspeksi diri." Kegagalan proyek diumumkan sebagai "belum mencapai target." Dan setiap kali kritik datang, jawabannya selalu, "Rakyat harus bersabar." Sementara itu, rakyat hanya bisa menyaksikan absurditas ini sambil bertanya-tanya kapan lelucon ini akan berakhir.
Namun, ada perbedaan besar antara Abu Nawas dan para politisi. Abu Nawas melakukannya dengan humor, sementara politisi melakukannya dengan serius dan tanpa rasa malu. Humor Abu Nawas membuat kita tertawa, sementara praktik politik sering kali hanya meninggalkan rasa getir.
Kisah Abu Nawas menjadi pengingat bahwa kompetisi semu hanya menghasilkan kemenangan semu pula. Jika politisi terus berfokus pada ilusi dan citra, maka rakyat akan terus menjadi pihak yang dirugikan. Dan seperti dalam cerita ini, kita tidak bisa mengharapkan akhir yang masuk akal. Tapi mungkin, di tengah absurditas ini, kita masih bisa berharap --- bahwa suatu hari nanti akan ada Abu Nawas sejati di politik Indonesia: bukan yang sibuk memenangkan perang ego, tetapi yang benar-benar peduli pada rakyat.