Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NU di Persimpangan: Antara Tradisi Luhur dan Tarikan Politik

18 Desember 2024   13:28 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:28 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fahmi Amrullah Hadzik, Ketua PCNU Jombang dan cicit pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari. (Sumber Foto: Suarasurabaya.net)

Belakangan ini, wacana Musyawarah Luar Biasa (MLB) di Nahdlatul Ulama (NU) mencuat ke permukaan, membawa isu yang membuat kening berkerut. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tidak hanya memiliki tanggung jawab moral terhadap umat Islam, tetapi juga menjadi salah satu penjaga stabilitas sosial dan politik bangsa. Namun, saat ada segelintir pihak yang mulai mengaitkan NU dengan ambisi kekuasaan, keutuhan organisasi ini seolah dipertaruhkan.

Fahmi Amrullah Hadzik, Ketua PCNU Jombang dan cicit pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari, menyoroti situasi ini dengan nada yang tegas tetapi tetap santun. "NU bukan untuk kekuasaan," katanya, seolah ingin mengingatkan kita semua tentang jati diri organisasi ini. Pernyataan ini sederhana, tapi memiliki bobot yang luar biasa. NU bukanlah panggung politik, melainkan wadah untuk membangun peradaban masyarakat yang rukun, berkeadaban, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Nah, ini menarik. Ketika organisasi seperti NU yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga akhlak berorganisasi justru digoyang oleh ambisi personal, kita harus bertanya: apa yang sedang terjadi? Apakah nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri sudah mulai memudar? Atau kita sedang melihat fenomena yang lebih besar, yaitu infiltrasi kepentingan politik ke dalam ruang-ruang yang seharusnya steril dari itu?

Mari kita jujur. Organisasi sebesar NU tidak mungkin lepas dari dinamika internal. Ada perbedaan pendapat, ada gesekan, itu wajar. Tapi, ketika perbedaan ini sampai ke tahap yang ekstrem, seperti memaksakan MLB, kita perlu khawatir. MLB, menurut Fahmi, adalah jalan yang tidak hanya membuang energi, tapi juga berpotensi mencederai reputasi NU sebagai organisasi yang santun dan beradab. "Lebih baik bersabar," ujarnya. Sebuah nasihat sederhana tapi sarat makna.

Konteks ini mengingatkan kita pada pentingnya kesabaran dalam berorganisasi. Masa khidmat kepengurusan saat ini tinggal dua tahun lagi. Apa yang salah dengan menunggu sampai waktu pemilihan resmi tiba? Jika ada perbedaan, mari diselesaikan dengan dialog. Toh, tradisi musyawarah dan mufakat adalah inti dari budaya NU. Ketergesaan dan ambisi pribadi tidak akan membawa manfaat, malah sebaliknya, bisa merusak apa yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri.

Lebih jauh, mari kita renungkan pesan Fahmi tentang menjaga NU dari ranah politik praktis. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat organisasi keagamaan terseret dalam pusaran politik. Ketika ini terjadi, yang rugi bukan hanya organisasi tersebut, tetapi juga umat yang seharusnya mereka layani. NU, dengan basis massa yang sangat besar, tentu menjadi target empuk bagi mereka yang haus kekuasaan. Tapi, apakah NU harus rela menjadi alat politik? Tentu tidak.

Pernyataan Fahmi bahwa NU didirikan bukan untuk kepentingan sesaat adalah pengingat yang sangat relevan. NU adalah tentang membangun peradaban, bukan sekadar memenangkan kontestasi politik. Ketika organisasi ini mulai kehilangan fokus, maka masyarakatlah yang akan merasakan dampaknya. Bayangkan jika NU, yang selama ini menjadi panutan, justru menjadi contoh buruk dalam berorganisasi. Apa yang akan terjadi pada generasi mendatang? Apa yang akan mereka pelajari dari kita?

Di sinilah pentingnya menjaga keadaban. Organisasi sebesar NU tidak boleh kehilangan jati dirinya. Nilai-nilai luhur seperti kesabaran, sopan santun, dan taat pada aturan harus tetap menjadi pedoman. Jika ini hilang, maka NU akan kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada kekuasaan: kepercayaan umat.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari situasi ini? Pertama, mari kita hargai tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendiri. Kedua, jangan biarkan ambisi sesaat menghancurkan apa yang telah dibangun selama hampir satu abad. Dan terakhir, mari kita semua, baik kader NU maupun masyarakat luas, menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.

NU bukanlah organisasi biasa. Ia adalah bagian dari identitas bangsa ini. Jika NU runtuh karena ambisi segelintir orang, maka yang kehilangan bukan hanya organisasi ini, tetapi juga kita semua sebagai bangsa. Jadi, mari kita jaga NU dengan cara yang telah diajarkan oleh para pendirinya: dengan sopan santun, kesabaran, dan penuh keadaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun