Sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pada tahun 2005, Indonesia telah memasuki era baru dalam praktik demokrasi lokal. Namun, setelah hampir dua dekade berjalan, muncul berbagai persoalan yang mengiringi pelaksanaannya, mulai dari biaya politik yang tinggi, potensi korupsi, hingga konflik sosial di masyarakat. Belakangan, wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat sebagai solusi alternatif.
Penyelenggaraan pilkada langsung membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, anggaran untuk Pilkada 2024 diperkirakan mencapai Rp27 triliun, yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Kompas.com, 2/5/2024). Selain itu, calon kepala daerah seringkali harus merogoh kocek pribadi hingga puluhan miliar rupiah untuk biaya kampanye dan mendapatkan dukungan politik. Tingginya biaya ini tidak jarang mendorong praktik korupsi pasca-terpilihnya kepala daerah, sebagai upaya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses pilkada.
Biaya politik yang tinggi dalam pilkada langsung seringkali berbanding lurus dengan meningkatnya kasus korupsi di daerah. Data menunjukkan bahwa sejak pelaksanaan pilkada langsung pada 2005 hingga 2014, terdapat 318 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi . Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pilkada langsung belum mampu menjamin terpilihnya pemimpin yang bersih dan berintegritas.
Selain masalah finansial dan korupsi, pilkada langsung juga memicu konflik horizontal di masyarakat. Perbedaan pilihan politik seringkali berujung pada gesekan antarpendukung, yang tidak jarang berakhir dengan kekerasan. Hal ini tentu saja mengancam kohesi sosial dan stabilitas di tingkat lokal.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, muncul wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pendukung wacana ini berargumen bahwa pemilihan melalui DPRD dapat menekan biaya politik, mengurangi potensi korupsi, dan meminimalkan konflik sosial di masyarakat. Namun, usulan ini juga menuai kritik. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menyatakan bahwa alasan biaya politik tinggi sebagai dasar kepala daerah dipilih DPRD sangatlah tidak tepat (Liputan6, 15/12/2024) . Selain itu, ada kekhawatiran bahwa mekanisme ini dapat mengurangi partisipasi publik dan akuntabilitas pemimpin terhadap rakyat.
Sebagai masyarakat yang peduli terhadap kualitas demokrasi di Indonesia, saya berpendapat bahwa solusi terbaik bukanlah dengan kembali ke mekanisme pemilihan melalui DPRD, melainkan dengan melakukan reformasi dalam sistem pilkada langsung itu sendiri. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Menekan Biaya Politik: Perlu ada regulasi yang membatasi pengeluaran kampanye dan transparansi sumber dana kampanye. Selain itu, negara dapat memberikan subsidi kampanye kepada calon yang memenuhi syarat, sehingga tidak ada ketergantungan pada donatur yang dapat mempengaruhi kebijakan setelah terpilih.
2. Penguatan Pengawasan: Lembaga pengawas pemilu harus diperkuat, baik dari segi kewenangan maupun sumber daya, untuk memastikan bahwa proses pilkada berjalan jujur dan adil. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan juga harus ditingkatkan.
3. Pendidikan Politik: Masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang memadai agar dapat memilih berdasarkan visi, misi, dan integritas calon, bukan karena politik uang atau tekanan sosial.
4. Penegakan Hukum yang Tegas: Sanksi yang tegas harus diberikan kepada pelaku politik uang dan korupsi, baik itu calon, tim sukses, maupun pemilih yang terlibat. Hal ini untuk memberikan efek jera dan membangun budaya politik yang bersih.