Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia menjadi 12% pada tahun 2025 telah memantik diskusi hangat di masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan urgensi kebijakan ini, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah yang tak terhindarkan untuk menopang keuangan negara.
 Namun, di balik angka-angka, kebijakan ini menghadirkan berbagai implikasi sosial-ekonomi yang patut kita cermati, terutama jika dibandingkan dengan praktik serupa di negara-negara lain.
PPN adalah instrumen pajak konsumsi yang telah diadopsi secara luas di seluruh dunia. Pajak ini dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi, tetapi hanya pada nilai tambahnya, menjadikannya lebih efisien dibandingkan pajak penjualan tradisional.Â
Sistem ini memungkinkan negara mengumpulkan pendapatan secara stabil tanpa terlalu membebani pelaku usaha di hulu. Namun, efek PPN yang regresif—yakni, beban yang lebih besar relatif terhadap pendapatan bagi kelompok berpenghasilan rendah—membuatnya sering diperdebatkan dari perspektif keadilan sosial.
Dengan tarif baru 12%, Indonesia kini berada di tengah-tengah spektrum tarif PPN global. Negara-negara dengan tarif PPN tertinggi, seperti Hungaria (27%) atau Swedia (25%), cenderung memiliki sistem perlindungan sosial yang sangat kuat untuk mengimbangi dampak regresifnya.Â
Di sisi lain, negara-negara seperti Singapura (9%) atau Bahrain (5%) menunjukkan bahwa tarif rendah dapat tetap efektif jika disertai dengan basis pajak yang luas dan kepatuhan yang tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa banyak negara menerapkan tarif PPN yang dikurangi untuk barang atau jasa tertentu, terutama yang dianggap esensial. Mesir, misalnya, menerapkan tarif PPN 14% tetapi menurunkannya menjadi 5% untuk barang-barang tertentu. China bahkan memiliki skema pengurangan hingga 0,5% untuk beberapa kategori barang.Â
Pendekatan semacam ini bertujuan melindungi daya beli masyarakat kecil sekaligus menjaga konsumsi barang-barang vital. Jika Indonesia ingin memitigasi dampak sosial dari kenaikan PPN, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan serupa.
Namun, apakah kebijakan ini akan efektif di Indonesia? Dari perspektif ekonomi makro, kenaikan PPN dapat meningkatkan pendapatan negara, yang sangat dibutuhkan untuk pembiayaan pembangunan. Di tengah tekanan fiskal akibat pandemi dan kebutuhan pembiayaan infrastruktur, pemerintah tampaknya tidak memiliki banyak pilihan selain memperluas basis pendapatan dari pajak.Â
Namun, dampaknya pada konsumsi domestik tidak boleh diabaikan. Dalam situasi di mana daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, kenaikan PPN bisa memperlambat pemulihan ekonomi, terutama bagi sektor informal dan usaha kecil yang sangat bergantung pada konsumsi masyarakat.
Indonesia juga dapat belajar dari negara-negara tanpa PPN, seperti Hong Kong atau Brunei, yang mengandalkan sumber pendapatan lain seperti minyak atau jasa keuangan. Namun, model ini sulit diterapkan di Indonesia, yang memiliki struktur ekonomi dan kebutuhan fiskal berbeda.Â
Alternatif yang lebih relevan mungkin adalah sistem GST (Goods and Services Tax) seperti di India, yang mengenakan tarif berbeda berdasarkan jenis barang dan jasa, mulai dari 0,25% untuk barang esensial hingga 28% untuk barang mewah. Sistem ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Kenaikan PPN juga menggarisbawahi perlunya transparansi dan efisiensi dalam administrasi pajak. Salah satu keunggulan utama PPN adalah kemampuannya mendorong perusahaan untuk mendaftar dan mematuhi sistem pajak, karena faktur pajak diperlukan untuk mengklaim kredit pajak.Â
Namun, di Indonesia, tantangan seperti penghindaran pajak dan ketidakpatuhan masih menjadi masalah besar. Tanpa perbaikan dalam sistem administrasi dan pengawasan, peningkatan tarif PPN berisiko hanya membebani konsumen tanpa menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi negara.
Di sisi sosial, kenaikan PPN harus diimbangi dengan kebijakan perlindungan bagi kelompok rentan. Subsidi langsung atau program bantuan sosial yang ditargetkan dapat membantu meredam dampak kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa barang-barang esensial seperti bahan makanan, pendidikan, dan kesehatan tetap terjangkau melalui tarif PPN yang dikurangi.
 Tanpa langkah-langkah ini, kebijakan kenaikan PPN berisiko memperbesar kesenjangan sosial dan menurunkan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam konteks global, PPN telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong kepatuhan pajak. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana pajak ini diterapkan. Transparansi, fleksibilitas tarif, dan penggunaan pendapatan untuk program-program yang langsung dirasakan masyarakat adalah kunci keberhasilannya.Â
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan tantangan struktural yang kompleks, perlu memastikan bahwa kebijakan PPN-nya tidak hanya meningkatkan pendapatan negara tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% mungkin merupakan langkah yang tak terelakkan dalam upaya pemerintah memperkuat keuangan negara. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ini diterapkan dan bagaimana pemerintah merespons dampak sosial yang ditimbulkannya.Â
Di tengah tekanan ekonomi global, Indonesia perlu menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan perlindungan sosial, sambil terus belajar dari pengalaman negara lain. Dengan kebijakan yang tepat, kenaikan PPN dapat menjadi katalis untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, bukan sekadar beban tambahan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H