Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia digemparkan oleh sebuah video yang memperlihatkan seorang juru dakwah membully secara verbal seorang penjual es teh asongan di atas panggung. Peristiwa ini dengan cepat menjadi viral di media sosial, memicu gelombang kritik terhadap pendakwah tersebut sekaligus simpati besar kepada sang penjual es teh. Publik yang marah melancarkan kecaman terhadap pendakwah, sementara dukungan dalam bentuk donasi mengalir deras kepada sang penjual. Akhirnya, akibat tekanan publik yang begitu masif, pendakwah tersebut mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penasihat presiden.
Kisah ini bukan sekadar konflik personal antara dua individu, melainkan sebuah cerminan kompleksitas sosial yang melibatkan norma, solidaritas, dan kekuatan media sosial sebagai ruang publik baru. Dari perspektif sosiologi, fenomena ini menawarkan banyak pelajaran tentang bagaimana masyarakat modern menegakkan kontrol sosial dan menyikapi ketimpangan kekuasaan.
Seorang pendakwah, dalam konteks norma sosial, adalah figur yang diharapkan menjadi teladan moral. Publik menempatkannya di atas panggung bukan hanya karena pengetahuannya, tetapi juga karena keyakinan bahwa ia mewakili nilai-nilai kebaikan dan kesantunan. Ketika ia melanggar ekspektasi tersebut dengan merendahkan orang lain di depan umum, masyarakat bereaksi keras. Perilaku seperti ini dianggap menyimpang karena bertentangan dengan norma kesantunan yang seharusnya dijunjung tinggi, terutama oleh seorang pemimpin moral.
Sanksi sosial yang diberikan masyarakat melalui media sosial adalah bentuk kontrol sosial informal yang efektif di era digital. Media sosial kini berfungsi sebagai arena di mana masyarakat dapat secara kolektif mengoreksi penyimpangan norma. Dalam kasus ini, hujatan terhadap pendakwah adalah respons publik untuk menegaskan bahwa tindakan membully tidak dapat diterima, terlepas dari siapa pelakunya. Namun, menarik untuk diperhatikan bahwa media sosial juga mempercepat proses viralitas, di mana sebuah isu lokal dapat dengan mudah menjadi perbincangan nasional, bahkan global, dalam waktu singkat.
Selain berfungsi sebagai alat kontrol sosial, media sosial juga memobilisasi solidaritas kolektif. Donasi yang mengalir kepada penjual es teh mencerminkan bagaimana masyarakat modern menunjukkan empati terhadap pihak yang dianggap lemah. Dalam konteks ini, penjual es teh menjadi simbol ketidakadilan struktural, seorang individu dengan posisi sosial dan ekonomi yang jauh lebih rendah, yang dilecehkan oleh seseorang dengan status lebih tinggi. Publik, yang melihat adanya ketimpangan kekuasaan, bersatu untuk mendukung sang penjual dan memberikan hukuman sosial kepada pendakwah.
Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui teori labeling. Dalam sosiologi, labeling merujuk pada proses di mana seseorang diberi "label" tertentu yang memengaruhi bagaimana ia diperlakukan oleh masyarakat. Pendakwah yang awalnya dihormati karena citra positifnya sebagai pemimpin moral, diberi label negatif sebagai "pelaku bully." Label ini menghancurkan reputasinya dan membuatnya kehilangan legitimasi sebagai penasihat presiden. Sebaliknya, penjual es teh yang sebelumnya mungkin tidak diperhatikan, mendapat label sebagai "korban," yang mengundang simpati dan dukungan masyarakat.
Kasus ini juga mencerminkan adanya ketimpangan kekuasaan yang sering kali menjadi pemicu kemarahan publik. Seorang pendakwah yang berbicara di atas panggung memiliki otoritas yang secara simbolis menempatkannya "lebih tinggi" daripada penjual es teh. Ketika otoritas ini digunakan untuk merendahkan orang lain, masyarakat merasa bahwa nilai-nilai keadilan telah dilanggar. Respons publik dalam bentuk kecaman dan donasi adalah upaya untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut dan memberikan suara kepada pihak yang lebih lemah.
Namun, perlu juga diingat bahwa media sosial, meskipun efektif sebagai alat kontrol sosial, memiliki kelemahan. Fenomena hujatan masal (mob mentality) yang terjadi dalam kasus ini menunjukkan bagaimana sanksi sosial bisa menjadi berlebihan. Pendakwah yang awalnya hanya dikritik karena tindakan tertentu, akhirnya menjadi sasaran bully yang masif, bahkan hingga merasa tertekan dan memilih mundur dari jabatan publiknya. Ini adalah contoh bagaimana kontrol sosial yang tidak terukur dapat menjadi pedang bermata dua, merugikan semua pihak yang terlibat.
Keputusan pendakwah untuk mengundurkan diri adalah bentuk penyingkiran sosial yang sering terjadi dalam masyarakat modern. Ketika seseorang melanggar norma yang dianggap penting, masyarakat cenderung menyingkirkan individu tersebut dari posisi kekuasaan atau pengaruh. Dalam kasus ini, pengunduran diri pendakwah adalah hasil dari tekanan sosial yang terus-menerus, yang mencerminkan kekuatan kolektif masyarakat dalam menegakkan norma.
Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan bagaimana norma sosial, solidaritas, dan media sosial saling berinteraksi dalam membentuk dinamika sosial di era modern. Masyarakat berperan aktif sebagai pengontrol norma, sementara figur publik harus menyadari bahwa setiap tindakan mereka diawasi dan dinilai. Media sosial, sebagai ruang publik baru, mempercepat proses ini, membuat sanksi sosial menjadi lebih instan dan masif.