Hasil survei model cak Lontong:
- Ya, memang ada, 90 orang
- Gula, 5 orang
- Semut, 3 orang
- Pabrik Gula, 2 orang
Model survei khas cak Lontong seperti ini selalu berhasil membuat kita tertawa sekaligus merenung. Hasil survei pun menyajikan data yang jenaka: 90 orang menjawab "Ya, memang ada" tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Lima orang menunjuk "gula" sebagai penyebab, tiga lainnya menyalahkan "semut," dan hanya dua yang berpikir bahwa mungkin "pabrik gula" lah sumber dari masalah. Ternyata, responden tidak diberi pertanyaan; mereka hanya merespons pernyataan. Kecilnya jumlah orang yang memilih "pabrik gula" dalam survei ini mencerminkan kecenderungan masyarakat kita untuk lebih memilih jawaban langsung dan praktis dibanding menggali lebih dalam pada hal-hal yang bersifat struktural dan abstrak.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kenyataan yang lebih besar dalam masyarakat. Pemikiran kita, sebagai individu maupun kolektif, cenderung menghindari pemahaman mendalam yang melibatkan analisis sebab-akibat yang kompleks. Mayoritas lebih memilih solusi yang tampak praktis dan langsung di permukaan, tanpa mempertimbangkan struktur atau sistem di balik fenomena tersebut. Hanya sebagian kecil dari kita yang bersedia mengasah pola pikir kritis dan reflektif untuk memahami bagaimana peristiwa atau kondisi tertentu dibentuk oleh sistem-sistem yang mungkin tak terlihat, atau hanya teraba oleh mereka yang memiliki kepekaan analitis.
Mengapa Masyarakat Memilih Pemikiran Praktis?
Pada dasarnya, pemikiran praktis memang bukan hal yang salah. Dalam kehidupan sehari-hari, pendekatan ini sangat membantu, bahkan esensial untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil dan cepat. Seorang ibu yang melihat lantai dapurnya dipenuhi semut mungkin langsung mengambil kain basah atau obat serangga untuk membersihkan hama tersebut daripada memikirkan dari mana asal gula yang mengundang semut. Namun, ketika pemikiran praktis ini menjadi satu-satunya cara berpikir kita, terutama dalam menangani isu-isu sosial, masalah mulai muncul.
Masyarakat dengan pola pikir praktis lebih mungkin untuk menyalahkan faktor-faktor yang tampak langsung di depan mata, tanpa mempertimbangkan kondisi atau struktur sosial yang mendasarinya. Misalnya, ketika ada kemacetan parah, banyak dari kita mungkin akan menyalahkan pengguna jalan yang ugal-ugalan atau pengemudi angkutan umum yang sembarangan berhenti. Sangat sedikit yang mempertanyakan mengapa sistem transportasi publik tidak cukup memadai atau bagaimana tata kota memengaruhi pola lalu lintas. Pemikiran semacam ini menghambat kita dari memecahkan masalah yang berulang karena kita cenderung hanya menangani gejala daripada akar masalahnya.
Ketiadaan Pemikiran Struktural
Pemikiran struktural seharusnya menjadi bagian dari cara kita memahami dunia. Ketika hanya sedikit orang yang mengerti atau peduli tentang aspek struktural, sering kali fenomena sosial yang kompleks akan dipahami secara dangkal, sehingga solusi yang ditawarkan pun menjadi sementara atau bahkan tidak efektif. Jika kita hanya menyalahkan semut yang datang karena gula, kita melupakan keberadaan pabrik gula yang sebenarnya adalah sumber dari rantai sebab-akibat tersebut.
Contoh lainnya bisa kita lihat dalam bidang pendidikan. Banyak orang tua dan masyarakat yang mengeluhkan rendahnya kualitas pendidikan. Mereka sering menyalahkan guru yang dianggap kurang kompeten atau siswa yang kurang giat belajar. Namun, sangat jarang kita mendengar perbincangan mengenai struktur pendidikan nasional yang mungkin memerlukan perubahan mendasar, seperti kurikulum yang lebih relevan atau pelatihan guru yang lebih baik. Dalam konteks ini, pemikiran struktural akan mengarahkan kita untuk memahami bahwa kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri sebagai persoalan terpisah, melainkan bagian dari sistem yang lebih besar.
Filosofi di Balik Minoritas Kritis
Mereka yang memilih "pabrik gula" dalam survei cak Lontong adalah representasi dari kelompok kecil dalam masyarakat yang cenderung berpikir lebih mendalam dan kritis. Kelompok ini adalah mereka yang mengamati permasalahan dari tingkat paling dasar, mempertanyakan kenapa suatu masalah bisa terjadi, dan mencari tahu penyebab yang lebih luas. Sayangnya, kelompok ini seringkali hanya minoritas, dan sering kali juga dianggap sebagai golongan yang "terlalu rumit berpikir" atau "sulit beradaptasi."
Dalam studi sosiologi dan filsafat, pola pikir seperti ini dianggap sangat bernilai karena membantu memperjelas relasi kuasa dan kondisi struktural yang tak terlihat oleh mayoritas masyarakat. Seseorang yang menganggap bahwa kualitas hidup bergantung pada pilihan individual saja, misalnya, bisa saja menutup mata pada struktur sosial yang melanggengkan kemiskinan atau ketidakadilan. Kelompok minoritas yang kritis adalah mereka yang mampu melihat bahwa tidak semua orang berada di posisi yang sama, dan tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan jalan pintas.
Menuju Masyarakat yang Lebih Reflektif dan Kritis
Untuk menjadi masyarakat yang mampu memecahkan masalah secara mendalam, kita harus mulai mendorong pola pikir yang lebih reflektif. Pemikiran kritis bukanlah sesuatu yang hadir dengan sendirinya; ia adalah keterampilan yang harus diasah dan dikembangkan. Dalam pendidikan, misalnya, siswa perlu diajarkan bukan hanya untuk menghafal informasi, tetapi juga untuk berpikir kritis tentang bagaimana dan mengapa informasi itu ada. Masyarakat yang cenderung praktis bukanlah masyarakat yang tidak cerdas, namun mereka terbiasa untuk mencari solusi instan, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas.
Cara berpikir kritis dan reflektif perlu dipupuk sejak dini. Pendidikan yang hanya berfokus pada hasil dan bukan proses berpikir akan melahirkan generasi yang cepat puas dengan jawaban sederhana. Padahal, dunia ini penuh dengan permasalahan kompleks yang membutuhkan lebih dari sekadar solusi instan.
Menyeimbangkan Praktis dan Struktural
Akan tetapi, keseimbangan antara pemikiran praktis dan struktural juga penting. Tidak semua masalah membutuhkan analisis mendalam, dan tidak semua situasi memerlukan solusi langsung. Memahami kapan kita perlu menggali lebih dalam dan kapan cukup dengan pendekatan praktis adalah keterampilan yang berharga.
Kembali pada lelucon cak Lontong tentang "ada gula ada semut," kita dapat belajar bahwa tidak ada salahnya untuk sejenak berhenti dan memikirkan dari mana asal gula itu. Jika kita ingin membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, kita perlu mulai melihat permasalahan dari perspektif yang lebih luas, menyadari bahwa banyak fenomena yang tampak sederhana di permukaan sesungguhnya memiliki latar belakang struktural yang kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H