Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Labirin Kehidupan

11 November 2024   10:59 Diperbarui: 11 November 2024   10:59 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur kambing dan labirin. (Sumber: Marcomelgrati.com)

Hari ini, aku menemukan gambar kambing di depan labirin, kambing yang memilih untuk keluar dari belantara masalah dengan cara memakannya. Betapa lucunya, begitu absurdnya, seekor kambing kecil yang begitu keras kepala menolak mengikuti labirin yang disusun dengan hati-hati oleh tangan-tangan tak terlihat. Kambing itu seolah bilang, "Kenapa harus repot-repot? Kenapa harus menghabiskan energi untuk mematuhi jalan rumit yang tak ada akhirnya, jika aku bisa saja membuat jalanku sendiri?"

Aku terkekeh sendiri. Dalam hidup, betapa sering kita menjadi seperti manusia yang terjebak di dalam labirin, mengikuti jalur yang digariskan oleh orang lain. Katanya ada aturan, prosedur, langkah-langkah yang wajib dipatuhi, dan kita harus tunduk karena begitulah dunia bekerja. Tapi, di satu sisi, betapa semua itu terasa palsu, hanya ilusi rapi yang dirancang untuk membuat kita terus berjalan dalam pola yang sudah ditentukan. Kambing itu membebaskan dirinya sendiri. Ia memakan jalannya keluar dari labirin---mungkin tanpa peduli pada aturan atau tata cara. Ia membuktikan bahwa, terkadang, jalan keluar paling efisien justru yang paling tak lazim.

Absurd? Tentu saja. Bayangkan dunia di mana setiap orang berusaha menemukan jalan keluar dengan menghancurkan dinding aturan dan tatanan sosial. Semuanya akan menjadi kacau. Bayangkan jika semua orang memutuskan untuk memakan jalannya masing-masing, mengikis batas-batas yang diciptakan dengan susah payah oleh masyarakat, oleh peradaban, oleh budaya. Dunia mungkin akan ambruk dalam kekacauan kreatif tanpa arah. Tapi anehnya, aku merasa, kekacauan itu malah terdengar menarik. Mengapa kita harus menganggap kekacauan itu buruk? Mengapa ketertiban selalu dianggap sebagai satu-satunya cara yang benar?

Di satu sisi, kambing itu mengingatkanku pada jiwa pemberontak yang terpendam di dalam diri setiap orang. Kita semua ingin keluar dari belenggu labirin hidup, dari aturan yang memaksa kita terus berjalan dalam siklus yang tak pernah berakhir. Tapi yang terjadi, kita hanya berputar-putar di dalamnya, berharap menemukan "jalan keluar" yang sebenarnya hanya ilusi. Lucu memang, manusia punya kemampuan berpikir yang jauh melampaui kambing, tapi dalam banyak hal kita kalah darinya. Kambing ini tahu bahwa dinding semak itu bisa dimakan, bahwa peraturan bisa dihancurkan, dan bahwa cara tercepat untuk keluar dari masalah adalah dengan tidak mematuhi aturan sama sekali.

Tapi kemudian aku skeptis. Apakah hidup benar-benar semudah itu? Atau mungkin kita hanya terjebak dalam obsesi untuk mencari jalan keluar yang "benar"? Dalam labirin kehidupan, kita sering kali takut untuk membuat jalur sendiri. Kita cemas akan apa kata orang, takut melukai diri, takut dianggap berbeda, takut gagal. Mungkin itulah yang membedakan kita dengan kambing: rasa takut yang berlebihan. Kambing itu, dengan segala keluguannya, tidak peduli pada konsekuensi atau pada pandangan orang lain. Ia tidak memikirkan apakah tindakannya benar atau salah menurut standar yang tak pernah ia pahami. Ia hanya tahu satu hal: ia ingin keluar dari labirin itu, dan ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.

Skeptis, aku bertanya pada diri sendiri: apa artinya semua ini? Apakah kita benar-benar memerlukan dinding-dinding itu, labirin-labirin itu, hanya agar hidup terasa lebih masuk akal, lebih teratur? Atau sebenarnya, kita hanya menipu diri sendiri dengan menerima kompleksitas sebagai sesuatu yang niscaya? Aku mulai meragukan semuanya. Apa jadinya jika kita semua berhenti peduli pada aturan dan mulai memakan dinding labirin yang membatasi kita? Apakah hidup akan lebih mudah, atau justru semakin tidak terkendali?

Pikiran ini membuatku tertawa kecil---kehidupan adalah labirin yang kita ciptakan sendiri, dikelilingi oleh dinding-dinding yang kita bangun dengan hati-hati. Dan, dalam setiap putaran, kita berharap menemukan sesuatu yang disebut tujuan. Namun, mungkin tujuan itu sendiri hanyalah konsep yang kita reka-reka untuk membenarkan semua kebingungan kita. Bagaimana jika kambing itu sebenarnya tidak memiliki tujuan sama sekali? Bagaimana jika ia hanya ingin menikmati rasa dinding semak itu tanpa memikirkan ke mana ia akan berakhir?

Sikap skeptisku terus menggelayuti pikiran. Apakah sesederhana itu? Aku tahu hidup tidak mungkin semudah memakan jalur keluar dari labirin. Pasti ada yang salah jika kita menganggap jalan pintas sebagai solusi yang sesungguhnya. Tapi dalam keabsurdan itu, ada suatu bentuk kebenaran yang menyentuh. Kambing ini mengajariku tentang keberanian untuk menentang norma, tentang meraih kebebasan tanpa harus terperangkap dalam belenggu aturan yang dipaksakan. Namun, aku tak bisa menahan pertanyaan, apakah itu kebebasan yang nyata atau hanya ilusi?

Mungkin, pada akhirnya, hidup adalah tentang memilih untuk menjadi kambing atau menjadi manusia. Menjadi kambing berarti melepaskan segala kompleksitas, mengambil jalur yang paling langsung meski itu melanggar norma. Menjadi manusia berarti terus berputar dalam labirin, mencoba menemukan makna dan tujuan sambil berpegang pada aturan yang kadang tak masuk akal. Tapi, mungkin keduanya hanyalah sisi lain dari keabsurdan yang sama. Kambing dan manusia sama-sama terjebak dalam labirin, hanya saja kambing tidak peduli dengan aturan di dalamnya.

Ah, hidup memang terlalu rumit jika terus dipikirkan. Kadang, mungkin memang seharusnya kita hanya diam dan menikmati apa pun yang bisa kita nikmati, bahkan jika itu berarti memakan jalur keluar dari dinding-dinding aturan yang kita bangun sendiri. Aku rasa, hari ini, kambing itu memberiku pelajaran tentang absurditas dan keberanian dalam memilih jalanku sendiri, meski aku tak yakin apakah jalan itu benar-benar membawaku ke luar dari labirin atau malah menciptakan labirin yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun