Saat kita mendengar ungkapan "merdeka atau mati" hari ini, mungkin bagi sebagian orang, itu hanya sekadar slogan perjuangan yang melambangkan semangat kemerdekaan. Namun, saya merasa ada esensi yang hilang saat kita terlalu mudah mengartikan ungkapan ini secara harfiah, atau malah menganggapnya semacam opsi yang bisa dipilih salah satu.Â
Lebih dari sekadar pilihan, "merdeka atau mati" adalah sebuah kesatuan. Ia bukan pernyataan untuk dipecah-pecah menjadi dua opsi, tetapi sebuah tekad yang memadukan dua kata yang seharusnya diterima sebagai satu.
Saat seorang orator berteriak lantang "merdeka atau mati," respon yang lahir tidak seharusnya terjebak dalam jawaban "merdeka" saja. Jika kita hanya menjawab "merdeka," kita cenderung melihat kebebasan sebagai sesuatu yang mudah, bebas risiko. Padahal, kemerdekaan yang sejati selalu memiliki bayang-bayang risiko, pengorbanan, bahkan hingga akhir hayat. Maka, ketika kita mengucapkan kembali frasa ini, seharusnya yang ada di benak adalah tekad bulat, bukan sekadar pilihan yang bisa ditinggalkan di tengah jalan.
Ungkapan "merdeka atau mati" sesungguhnya mengajak kita merenungkan tentang arti pengorbanan. Ia adalah pesan bahwa kemerdekaan tak akan datang dengan sendirinya, bahwa selalu ada harga yang harus dibayar. Di masa revolusi, hal ini sangat terasa. Setiap orang yang mengucapkan "merdeka atau mati" tahu bahwa kata-kata itu bukan sekadar harapan, tetapi sumpah yang mereka genggam. Sekali mengucapkan, tak ada jalan kembali---seolah jalan kemerdekaan adalah satu-satunya arah.
Ketika kita memilih untuk mengartikan frasa ini sebagai "merdeka saja," tanpa menyertakan risiko mati, seolah-olah kita sedang memilih bagian yang paling aman dari sebuah perjuangan. Ini adalah pandangan yang tak lengkap, yang seakan mencabut nilai perjuangan itu sendiri. Bukan hanya kemerdekaan fisik yang kita raih, melainkan sebuah komitmen tanpa syarat untuk merdeka, apa pun harga yang harus dibayar. Inilah jiwa yang tersirat dalam kata-kata ini.
Sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka, mungkin kita merasa bahwa risiko mati sudah bukan bagian dari kehidupan sehari-hari. Tapi sebenarnya, "merdeka atau mati" seharusnya tetap menjadi sikap hidup, bahkan dalam kehidupan yang damai.Â
Frasa ini bukan hanya soal peperangan, tetapi sebuah sikap mental yang menegaskan bahwa setiap bentuk kemerdekaan---kebebasan berpikir, berbicara, berkarya---mungkin membutuhkan keberanian dan pengorbanan tertentu. Ketika kita hanya menyukai "merdeka," kita mungkin cenderung memilih kenyamanan, tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin menyertainya.
Jawaban "merdeka atau mati" saat mendengar seruan ini bukan sekadar soal mengenang masa lalu, tetapi sebuah pengingat bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk memahami esensi perjuangan itu. Jangan sampai kita jatuh pada kemudahan hanya memilih yang menyenangkan. Sebaliknya, kita perlu kembali menegaskan kesatuan dari dua kata ini, bahwa siapa pun yang mengaku mencintai kemerdekaan harus siap dengan segala konsekuensinya, tak peduli seberapa beratnya.
Sebagai masyarakat modern, kita kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berbalut kenyamanan dan keamanan. Namun, "merdeka atau mati" adalah sebuah tantangan untuk tidak mudah terjebak dalam kebebasan yang hanya tampak nyaman di permukaan. Kemerdekaan yang sejati selalu mengandung harga yang besar, dan memahami ini akan mengingatkan kita bahwa perjuangan tak pernah benar-benar berakhir.
Mungkin bagi generasi muda, frasa ini terasa jauh dan asing. Namun, mereka perlu memahami bahwa di balik setiap kebebasan yang mereka nikmati, ada orang-orang yang memilih "merdeka atau mati" sebagai janji hidup, bukan hanya sebagai slogan. Mereka memilihnya sebagai tanggung jawab, bukan sebagai pilihan yang dapat diambil setengah-setengah. Dengan demikian, jika mereka mengerti, mereka tak akan mudah menjawab sekadar "merdeka" saat mendengar seruan ini, tetapi dengan kesadaran utuh akan arti pengorbanan.