Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2024 mempertemukan dua kandidat utama: Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik. Hasil pemilu ini akan berdampak signifikan pada hubungan bilateral antara AS dan Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan diplomasi.
Kamala Harris dikenal dengan pendekatan multilateral dalam kebijakan luar negerinya. Sebagai Wakil Presiden di bawah pemerintahan Joe Biden, Harris telah menunjukkan komitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara lain melalui forum internasional seperti ASEAN. Kehadirannya dalam KTT ASEAN di Jakarta pada September 2023 menegaskan komitmen AS terhadap kawasan Asia Tenggara.
Pendekatan multilateral ini dianggap menguntungkan bagi Indonesia. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Dodi Ambardi, menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto kemungkinan lebih menyukai Kamala Harris dibanding Donald Trump. Hal ini karena pendekatan multilateral Harris memfasilitasi negosiasi yang lebih menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.
Sebaliknya, Donald Trump dikenal dengan kebijakan "America First" yang cenderung proteksionis. Selama masa jabatannya, Trump memberlakukan tarif tinggi pada berbagai produk impor, termasuk dari negara mitra dagang seperti Indonesia. Jika terpilih kembali, ada kekhawatiran bahwa Trump akan menerapkan tarif tambahan yang dapat berdampak negatif pada ekspor Indonesia ke AS.
Ekspor Indonesia ke AS mencakup produk elektronik, tekstil, dan alas kaki. Pengenaan tarif tinggi dapat membuat produk Indonesia kurang kompetitif di pasar AS, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik.
Kemenangan Kamala Harris diperkirakan akan membawa stabilitas dalam hubungan bilateral AS-Indonesia. Pendekatan multilateral dan komitmen terhadap kerja sama internasional dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di kancah global.Selain itu, Harris diproyeksikan akan melanjutkan kebijakan luar negeri yang diambil oleh Joe Biden, termasuk dalam isu-isu penting seperti Ukraina, China, dan Iran.
Sebaliknya, gaya kepemimpinan Trump yang sulit ditebak dapat membawa ketidakpastian dalam hubungan bilateral. Kebijakan yang berubah-ubah dan fokus pada kepentingan domestik dapat mengganggu kerja sama yang telah terjalin antara kedua negara.
Hingga saat ini, berbagai survei menunjukkan persaingan ketat antara Kamala Harris dan Donald Trump. Beberapa survei menunjukkan keunggulan tipis bagi Harris, sementara yang lain menunjukkan Trump memimpin. Misalnya, survei Reuters/Ipsos yang dilakukan dua hari setelah Joe Biden mundur dari pencalonan menunjukkan bahwa Kamala Harris lebih unggul daripada Donald Trump.
Namun, prediksi ini dapat berubah seiring perkembangan kampanye dan dinamika politik yang terjadi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mempersiapkan berbagai skenario dan strategi diplomasi yang adaptif terhadap hasil pemilu AS.
***