Saat air banjir mulai naik, atau saat gempa meluluhlantakkan bangunan-bangunan, rakyat tidak punya waktu untuk menunggu hasil diskusi panjang atau kebijakan yang memerlukan waktu berminggu-minggu untuk diimplementasikan.Â
Yang mereka butuhkan adalah kepemimpinan yang cepat tanggap, tindakan nyata, dan solusi yang langsung menyentuh kebutuhan mendasar mereka: makanan, air bersih, tempat perlindungan, serta akses kesehatan.
Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya. Pemimpin kita terkadang terlihat lebih sibuk mengatur penampilan atau narasi mereka di media massa ketimbang memprioritaskan tindakan yang mendesak.Â
Mereka lebih memilih memberikan pidato panjang atau berdebat dalam rapat-rapat kabinet ketimbang mengirimkan bantuan atau bahkan hanya hadir di tengah masyarakat yang terdampak bencana.Â
Sementara itu, rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri, berusaha bertahan dengan sumber daya yang minim, atau malah terjebak dalam kondisi yang lebih buruk karena bantuan yang datang terlambat.
Empati: Elemen yang Hilang dari Kepemimpinan
Yang sering kali terabaikan dari krisis-krisis ini adalah empati. Empati bukan sekadar kata-kata manis atau aksi foto bersama pengungsi untuk kepentingan politik.Â
Empati adalah kemampuan untuk benar-benar merasakan penderitaan orang lain dan bertindak untuk mengurangi beban mereka.Â
Dalam ilustrasi perahu tadi, kita melihat bahwa pemimpin di atas perahu mungkin bisa melihat mereka yang berjuang di air, tapi mereka tampaknya tidak bisa benar-benar "merasakan" apa yang terjadi.Â
Mereka tetap melanjutkan diskusi seolah-olah tidak ada yang salah. Hal ini mencerminkan fenomena yang sering kita temui dalam kehidupan nyata: para pemimpin yang terputus dari realitas masyarakat yang mereka pimpin.
Kita bisa melihat ini dalam banyak kasus, dari respons terhadap bencana alam hingga penanganan krisis kesehatan.Â
Kita melihat pemimpin yang, alih-alih turun tangan, justru sibuk mencari alasan, menyalahkan pihak lain, atau bahkan mempolitisasi krisis untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Dalam situasi semacam ini, rakyat merasa terabaikan, tidak berdaya, dan ditinggalkan.