Di suatu sidang agung, para pengacara pria berdiri dengan gagah, mengenakan wig besar dan lebat seperti tumpukan mi instan yang belum dimasak. Suasana tegang. Kasusnya berat. Para hadirin menahan napas. Namun, di pojok ruangan, terdengar bisikan kecil dari seorang anak kecil yang bertanya kepada ayahnya:
"Pa, kenapa para pengacara laki-laki pake wig kayak gitu?"
Sang ayah, yang juga penasaran, mencoba mencari jawaban yang logis. Namun, sebelum dia bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara pengacara utama yang mengenakan wig terbesar di antara semuanya:
"Kami, para pria pengacara, memakai wig... agar kami bisa berdebat dengan elegan dan penuh seni, layaknya... wanita!"
Ruangan terdiam sesaat, tapi kemudian terdengar suara tawa dari hakim, yang diam-diam juga mengenakan wig di bawah topinya. "Benar juga," kata sang hakim, "Hanya dengan wig ini, kita bisa menguasai seni debat kelas atas!"
Seluruh ruangan meledak dalam tawa. Kasus yang berat itu tiba-tiba terasa ringan, dan wig para pengacara mulai terlihat semakin menggelikan. Salah satu pengacara bahkan menggoyang-goyangkan wignya, seolah sedang menari balet dengan imajinasi liar. Sidang hari itu ditutup dengan satu kesimpulan penting: wig tidak hanya untuk gaya, tapi juga untuk melatih seni berdebat tanpa kehilangan akal.
Dan sejak saat itu, wig para pengacara dianggap bukan lagi sebagai simbol tradisi kuno, melainkan sebagai alat sakti yang membantu mereka berdebat dengan 'keanggunan maksimal'.
Ternyata, di balik wig besar itu... tersimpan semangat debat tanpa akhir, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah mengenakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H