Ketika berbicara tentang konflik, baik di tingkat nasional maupun internasional, istilah geopolitik kerap menjadi 'framing' utama yang dilemparkan ke publik.Â
Para politisi, media, dan pengamat sering kali mengemas isu-isu dengan sentuhan geopolitik, seolah-olah setiap perseteruan adalah bagian dari permainan besar yang mengharuskan kita memilih sisi.Â
Sayangnya, pendekatan ini lebih sering menyerupai pertikaian antar supporter sepakbola daripada diskusi dewasa yang dibutuhkan untuk memahami dan menyelesaikan konflik.
Di Indonesia, kita melihat hal ini berulang kali terjadi. Setiap kali ada konflik internal, entah itu soal politik identitas, persaingan bisnis, atau bahkan perbedaan pendapat yang sederhana, segera ada narasi yang diangkat bahwa ini semua adalah bagian dari strategi geopolitik.Â
Padahal, banyak dari konflik ini hanyalah manifestasi dari masalah domestik yang tidak terselesaikan, diperburuk oleh ketidakdewasaan dalam berpolitik.
Misalnya, dalam kasus perebutan pengaruh antara berbagai partai politik di Indonesia, kita sering melihat klaim bahwa pihak tertentu didukung oleh kekuatan asing atau berusaha mengubah peta geopolitik Indonesia.Â
Namun, jika ditelisik lebih dalam, banyak dari konflik ini lebih menyerupai perselisihan antar supporter yang saling klaim kebenaran tanpa dasar yang kuat.Â
Mengapa harus selalu ada musuh luar yang disalahkan? Tidak bisakah kita mengakui bahwa sebagian besar konflik ini berasal dari ketidakmampuan kita untuk berdialog secara sehat dan mencari solusi yang bermanfaat bagi semua pihak?
Hal ini tidak hanya terjadi di tataran elit politik. Di media sosial, kita melihat hal yang sama. Masyarakat terpecah dalam kubu-kubu yang memperlakukan politik layaknya pertikaian antar klub sepakbola, yang mana loyalitas terhadap 'tim' lebih penting daripada kebenaran atau solusi yang logis.Â
Setiap argumen yang tidak sejalan dengan pandangan kelompok tertentu langsung dicap sebagai upaya geopolitik untuk merongrong bangsa. Bahkan ketika tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.