Â
Adaptasi AI dalam Industri Penerbitan
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam industri penerbitan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Di Indonesia, adopsi AI oleh penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menjadi contoh nyata bagaimana teknologi ini mempengaruhi cara media bekerja. AI digunakan dalam berbagai aspek, mulai dari penyuntingan hingga pembuatan avatar, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi konten.
Andy Budiman, CEO KG Media, dalam Indonesia Digital Conference (IDC) 2024 di Jakarta pada Rabu (28/8/2024), menekankan bahwa media harus berdamai dengan perubahan teknologi untuk mencerahkan peradaban. Dengan AI menjadi bagian integral dari industri ini, media perlu menemukan cara untuk tetap relevan dan orisinal dalam menghasilkan konten. Namun, adopsi AI juga menimbulkan tantangan signifikan, terutama terkait dengan ketimpangan antara platform media sosial dan perusahaan media. Konten berita yang tersebar melalui media sosial seringkali tidak memberikan dampak finansial yang signifikan bagi penerbit, sementara platform sosial mendapatkan keuntungan besar dari iklan.
Di luar negeri, ketimpangan ini juga menjadi perhatian serius. Misalnya, di Amerika Serikat, nilai pasar iklan digital yang dikuasai oleh dua perusahaan besar, Google dan Facebook, telah mencapai lebih dari 54% pada tahun 2023, mengancam keberlanjutan model bisnis tradisional penerbitan . Selain itu, permasalahan tanggung jawab atas konten juga menjadi isu utama. Sementara platform sosial dapat meletakkan tanggung jawab pada pengguna, penerbit harus bertanggung jawab penuh atas konten yang mereka terbitkan. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam hal tanggung jawab hukum dan etika.
Tantangan lain yang dihadapi oleh penerbit adalah bagaimana AI sering kali mengabaikan hak cipta dengan tidak mencantumkan sumber asli. Andy Budiman mencontohkan survei yang dilakukan oleh Kompas, yang kerap dikutip oleh media lain dengan menyebut sumber, namun dalam kasus AI seperti ChatGPT, sumber tersebut tidak selalu dicantumkan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain, di mana konten hasil riset sering kali diambil tanpa izin, merugikan penerbit yang telah menginvestasikan banyak dana dalam penelitian tersebut.
Irene Jay Liu, Director AI Emerging Tech and Regulation di The International Fund for Public Interest Media (IFPIM), menyoroti pentingnya regulasi untuk melindungi penerbit dari penggunaan data yang tidak sah oleh AI. Di Eropa, misalnya, General Data Protection Regulation (GDPR) telah diberlakukan untuk melindungi data pribadi, dan gugatan hukum di AS menunjukkan bahwa penerbit dapat menolak pemrosesan data mereka tanpa izin. Hal ini menegaskan perlunya regulasi yang lebih ketat di seluruh dunia untuk memastikan bahwa hak penerbit dilindungi dalam era digital yang semakin canggih ini .
Regulasi dan Strategi Bertahan Penerbit di Era AI
Peran regulasi dalam melindungi penerbit di era AI menjadi semakin penting. Seiring dengan meningkatnya penggunaan AI, khususnya dalam konteks pengindeksan dan penggunaan konten oleh mesin, penerbit di seluruh dunia menghadapi tantangan yang belum pernah ada sebelumnya. Irene Jay Liu menegaskan bahwa penerbit harus memiliki hak untuk memblokir platform AI dari mengindeks situs mereka, sebagai langkah awal untuk melindungi hak cipta mereka.
Sebagai contoh, di Uni Eropa, penerapan GDPR telah memungkinkan individu dan organisasi untuk mengontrol data pribadi mereka dengan lebih baik, termasuk menolak pemrosesan data tanpa izin. Selain itu, beberapa penerbit di Eropa mulai mengambil langkah untuk menghapus konten mereka dari indeks mesin pencari sebagai upaya terakhir untuk mencegah penyalahgunaan oleh AI. Tindakan ini menggarisbawahi urgensi bagi penerbit untuk lebih proaktif dalam melindungi aset digital mereka, terutama di tengah tekanan ekonomi yang semakin besar.
Di sisi lain, Ika Idris, Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, menyatakan bahwa AI sangat bergantung pada data dari penerbit untuk dapat berfungsi secara optimal. Menurutnya, kebutuhan AI akan data terus tumbuh dengan cepat, mencapai triliunan data dalam waktu singkat. Hal ini menunjukkan bahwa penerbit masih memiliki kekuatan dan pengaruh besar dalam ekosistem digital, asalkan mereka dapat memanfaatkan data mereka dengan strategi yang tepat.
Untuk menghadapi tantangan ini, para penerbit disarankan untuk tidak panik, tetapi tetap waspada dan beradaptasi. Irene Jay Liu menyarankan agar penerbit memantau secara aktif perkembangan teknologi yang digunakan oleh pengembang AI dan menggunakan alat-alat yang tersedia untuk mengontrol penggunaan konten mereka. Selain itu, fokus pada hubungan langsung dengan audiens juga menjadi kunci untuk mempertahankan relevansi dan keberlanjutan bisnis. Misalnya, penerbit dapat meningkatkan interaksi langsung dengan pembaca melalui platform digital mereka sendiri, alih-alih bergantung sepenuhnya pada platform pihak ketiga yang sering kali tidak memberikan kompensasi yang adil.
Dalam konteks Indonesia, adaptasi AI oleh penerbit di bawah AMSI harus dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, asalkan dilakukan dengan hati-hati dan dengan regulasi yang jelas. Andy Budiman dari KG Media menekankan pentingnya originalitas dan relevansi konten sebagai nilai tambah utama yang harus terus dijaga oleh media. Dengan demikian, media diharapkan tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga terus berkembang di tengah perubahan teknologi yang cepat.