Dalam kancah politik Indonesia, gambaran simbolik dari peribahasa "buta, tuli, dan bisu" sering kali mencerminkan realitas yang tak terhindarkan dalam perjalanan demokrasi kita. Seorang pemimpin dengan tongkat dan kacamata hitam di depan barisan orang yang sengaja menutup mata, mengingatkan kita pada fenomena kepemimpinan yang tidak jarang diselimuti oleh kebutaan akan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menghadapi tantangan unik dalam mengelola keberagaman dan kompleksitas politiknya. Dari sabang sampai merauke, setiap pemilu menjadi pentas bagi para pemimpin untuk menunjukkan kemampuan mereka memandu rakyat. Namun, sejauh mana mereka benar-benar melihat dan mendengar kebutuhan rakyatnya?
Fenomena 'kebutaan' politik ini bukan hanya pada tingkat pemimpin, tetapi juga masyarakat yang terkadang memilih untuk 'buta' terhadap kenyataan politik. Misalnya, ketika skandal korupsi terungkap, tidak jarang rakyat memilih untuk 'menutup mata', entah karena apatis atau karena kelelahan politik. Mereka mengikuti arus tanpa pertanyaan, bergerak di atas dasar kepercayaan yang rapuh kepada para pemimpin yang mungkin juga 'buta' terhadap realitas yang mereka hadapi.
Dalam konteks ini, 'tongkat' yang digunakan oleh pemimpin dalam gambar bisa diinterpretasikan sebagai alat bantu yang menunjukkan sejauh mana mereka bergantung pada sistem yang sudah ada.Â
Sistem yang, meskipun tidak sempurna, dianggap sebagai satu-satunya cara untuk berjalan ke depan. Ketergantungan ini bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, menyediakan struktur dan kestabilan; di sisi lain, memperdalam 'kebutaan' dan ketidakmampuan untuk beradaptasi atau berinovasi.
Sebagai rakyat yang berdaulat, tugas kita tidak hanya memilih pemimpin, tapi juga terus menerus mengawasi dan mempertanyakan arah yang mereka ambil. Partisipasi aktif dalam politik---baik sebagai pemilih yang terinformasi, demonstran yang damai, atau bahkan sebagai kritikus yang tajam---adalah esensial untuk mencegah 'kebutaan' politik yang bisa menggerogoti dasar-dasar demokrasi kita.
Jadi, mari kita buka mata dan telinga kita. Mari kita pastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh pemimpin kita dilakukan dengan visi yang jelas dan tanggung jawab yang kuat terhadap rakyat yang mereka wakili.Â
Demokrasi yang sehat adalah tentang melihat lebih jauh dari apa yang ditawarkan oleh kekuasaan, dan mendengar lebih dalam dari apa yang diucapkan oleh kepentingan. Hanya dengan cara itu, kita bisa mencegah diri kita dari jatuh ke dalam jurang 'kebutaan' yang sama yang dihadapi oleh banyak negara lain dalam sejarah mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H