Kenaikan Cukai Rokok dan Dampaknya terhadap Harga Jual Eceran pada 2024
Menjelang tahun 2025, kebijakan pemerintah terhadap industri rokok di Indonesia semakin ketat dengan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang dijadwalkan akan kembali naik. Kenaikan cukai ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak muda dan remaja, serta untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor ini.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, telah mengonfirmasi bahwa kenaikan tarif cukai rokok akan dilaksanakan pada 2025, setelah kebijakan tarif multiyears berakhir pada 2024. Hal ini diputuskan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, yang menandakan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan ini (Kompas.com, 11/06/2024).
Pada tahun 2024, tarif cukai rokok telah diatur untuk meningkat sebesar 10%, sebuah kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022. Kenaikan ini diharapkan akan membawa dampak pada harga jual eceran rokok yang secara otomatis akan ikut naik. Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I misalnya, harga per batangnya diperkirakan naik dari Rp 2.055 menjadi Rp 2.260, sementara untuk Golongan II naik dari Rp 1.255 menjadi Rp 1.380 (Kompas.com, 10/01/2024).
Lebih lanjut, pemerintah juga telah mengatur kenaikan cukai untuk produk rokok elektrik yang secara signifikan lebih tinggi, yakni sebesar 15%, untuk tahun yang sama. Kenaikan cukai pada rokok elektrik dan produk tembakau lainnya seperti HPTL (hasil pengolahan tembakau lainnya) adalah upaya pemerintah untuk menyelaraskan pengenaan cukai di seluruh produk tembakau (Kompas.com, 10/01/2024).
Pertimbangan utama dalam penyesuaian tarif cukai ini tidak hanya terkait dengan aspek kesehatan publik, tetapi juga implikasi ekonomi yang lebih luas, termasuk pengaruhnya terhadap inflasi dan pendapatan rumah tangga. Dengan strategi ini, pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan penerimaan negara dengan kontrol terhadap konsumsi rokok yang berdampak negatif terhadap kesehatan (Kompas.com, 03/01/2024).
Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mereduksi prevalensi perokok muda dan mengurangi dampak buruk rokok terhadap kesehatan masyarakat, sekaligus memastikan bahwa industri rokok dan tenaga kerja yang bergantung padanya tetap mendapatkan perlindungan ekonomi yang wajar dalam transisi kebijakan publik yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Proyeksi Dampak Kenaikan Cukai Rokok terhadap Ekonomi dan Masyarakat pada 2025
Sebagai lanjutan dari kebijakan kenaikan cukai rokok pada tahun 2024, pemerintah Indonesia memiliki rencana yang telah dirumuskan untuk dilanjutkan pada tahun 2025. Dengan berakhirnya periode kebijakan tarif cukai multiyears pada tahun 2024, kenaikan tarif cukai pada 2025 diproyeksikan akan lebih intensif dan berlapis sesuai dengan kebutuhan fiskal dan tujuan kesehatan masyarakat. Askolani, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, menyebutkan bahwa keputusan ini sudah mendapat dukungan penuh dari DPR, dan detil kenaikan akan dibahas dalam pembahasan RAPBN 2025 pada Agustus mendatang (Kompas.com, 11/06/2024)
Dalam aspek ekonomi, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor cukai. Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya harga eceran rokok yang bisa memberikan tekanan pada daya beli masyarakat, khususnya di kalangan perokok dengan pendapatan menengah ke bawah. Peningkatan harga ini diproyeksikan bisa memengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap rokok, yang mungkin akan memilih untuk beralih ke produk alternatif atau bahkan berhenti merokok.
Dari sisi kesehatan, kenaikan cukai rokok bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya di kalangan anak dan remaja. Kebijakan ini sejalan dengan target yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% pada tahun 2024 (Kompas.com, 10/01/2024). Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok melalui cukai dapat efektif dalam mengurangi jumlah perokok, terutama di kalangan kaum muda yang lebih sensitif terhadap perubahan harga.
Di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menimbulkan tantangan bagi industri rokok domestik, terutama bagi produsen rokok kecil dan menengah yang mungkin kesulitan menyesuaikan dengan struktur cukai baru. Hal ini dapat memengaruhi lapangan kerja dan pendapatan di sektor terkait, serta menimbulkan kebutuhan akan strategi adaptasi industri yang lebih komprehensif.