Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Konflik Kultural: Menelisik Tantangan Pluralisme dalam Nasionalisme

1 Juni 2024   07:00 Diperbarui: 1 Juni 2024   07:02 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik.com

Pluralitas dan Identitas Kultural dalam Pancasila

Esai "Telor Ayam Jantan dan Ibu Garuda Pertiwi" oleh Emha Ainun Nadjib menghadirkan wacana mengenai pluralitas dan identitas dalam konteks sosial dan kultural Indonesia. Nadjib menggunakan metafora "kokok ayam" untuk menggambarkan bagaimana perbedaan interpretasi dan ekspresi kultural dapat koeksistensi dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, sebuah prinsip yang juga merupakan fondasi ideologi Pancasila.

Dari perspektif filsafat, konsep ini mengingatkan pada teori "intersubjectivity" yang diusung oleh Edmund Husserl dan lebih lanjut oleh Jrgen Habermas. Husserl berpendapat bahwa intersubjektivitas adalah kondisi dasar bagi semua pengalaman sosial dan komunikasi; ini adalah alat yang memungkinkan individu membagi realitas mereka dengan orang lain, memfasilitasi sebuah 'dunia kehidupan' yang bersama. Habermas mengembangkan ini lebih lanjut dalam konteks "public sphere" di mana dialog antarbudaya terjadi tanpa memaksa asimilasi identitas individu atau kelompok.

Dalam konteks sosiologi, bisa ditarik paralel dengan konsep "habitus" oleh Pierre Bourdieu, yang menunjukkan bahwa setiap individu atau kelompok sosial memiliki kecenderungan dan disposisi yang terbentuk oleh kondisi eksistensi mereka, tetapi tetap memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan kecenderungan sosial lainnya. Metafora Nadjib tentang beragamnya interpretasi suara kokok ayam menunjukkan bahwa walaupun ada perbedaan dalam manifestasi budaya, semangat keindonesiaan---yang dipersatukan oleh Pancasila---tetap bisa menjadi dasar yang solid untuk kesatuan.

Menyelidiki lebih jauh, terlihat bahwa ada ketegangan antara eksklusivitas dan inklusivitas yang dihadapi oleh konsep nasionalisme di Indonesia. Pancasila, sebagai alat pemersatu, sering kali harus berjuang melawan kekuatan desentralisasi dan fragmentasi sosial yang muncul karena pluralitas yang sama. Ini menarik hubungan dengan teori konflik kultural seperti yang digambarkan oleh Samuel Huntington, yang menekankan pada potensi gesekan antara peradaban yang berbeda, meskipun dalam konteks Indonesia, gesekan ini lebih merupakan dinamika internal daripada benturan dengan eksternal.

Dengan demikian, pemikiran Nadjib mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali bagaimana ideologi nasional seperti Pancasila dapat menjadi alat yang inklusif, menghargai dan merayakan perbedaan sambil memperkuat kesatuan nasional. Bagaimana perbedaan suara kokok ayam, metafor untuk keanekaragaman budaya, dapat dilihat sebagai kekayaan yang memperkaya, bukan sebagai penghalang untuk kesatuan.

Kekuasaan, Kapital, dan Keadilan dalam Kebudayaan Indonesia

Dalam esai "Telor Ayam Jantan dan Ibu Garuda Pertiwi," Emha Ainun Nadjib juga mengkritik cara kapital dan kekuasaan memengaruhi identitas kebudayaan dan kebijakan nasional di Indonesia, khususnya melalui pengaruh Jakarta sebagai pusat kekuasaan. Diskursus ini menggambarkan bagaimana dominasi ekonomi dan politik dapat memengaruhi representasi dan persepsi kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia.

Teori Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya sangat relevan dalam konteks ini. Gramsci berpendapat bahwa kelas yang dominan mempertahankan kekuasaannya tidak hanya melalui paksaan tetapi juga melalui kontrol atas norma dan nilai dalam masyarakat. Dalam kasus Indonesia, Jakarta, sebagai "pemimpin keIndonesiaan," menjadi simbol dari hegemoni tersebut, menyebarluaskan pengaruhnya ke seluruh nusantara melalui akulturasi dan asimilasi.

Nadjib menyindir cara 'Gue-gue'---suara kokok ayam versi Jakarta---menjadi standar, mengabaikan keanekaragaman suara yang sebenarnya ada. Ini menunjukkan fenomena sosialisasi yang dilakukan oleh pusat kekuasaan yang mencoba menghomogenisasi keanekaragaman budaya yang seharusnya diakui dan dirayakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana struktur kekuasaan memengaruhi validitas ekspresi budaya lokal dan bagaimana kapital memengaruhi distribusi kekuasaan dalam konteks nasional.

Dari perspektif sosiologi ekonomi, Pierre Bourdieu juga menyatakan bahwa modal tidak hanya ekonomi tapi juga sosial dan budaya. Di Indonesia, akumulasi modal ini di Jakarta menciptakan disparitas yang besar dengan daerah lain, memengaruhi distribusi kekuasaan dan representasi budaya. Kritik Nadjib terhadap cara modal digunakan untuk mengendalikan kekuasaan dan homogenisasi budaya menggarisbawahi ketidakadilan dalam pengalokasian sumber daya dan kesempatan.

Selain itu, Nadjib menyinggung masalah penting tentang keadilan sosial yang berakar dalam filosofi politik. John Rawls dalam teorinya tentang keadilan sebagai keadilan menekankan pentingnya prinsip-prinsip keadilan dalam struktur dasar masyarakat. Prinsip keadilan Rawls yang menekankan pada kesetaraan dan pemenuhan hak dasar setiap individu dapat diterapkan untuk mempertanyakan seberapa jauh kebijakan dan praktik yang berlaku di Indonesia memenuhi kriteria ini, terutama dalam konteks kesetaraan antarwilayah dan antarkelompok.

Melalui refleksi ini, esai Nadjib mempertajam pemahaman kita tentang kompleksitas interaksi antara kekuasaan, kapital, dan keadilan dalam membentuk kebudayaan nasional dan identitas Indonesia. Ini membuka jalan untuk memikirkan ulang bagaimana keadilan dan kesetaraan harus menjadi fondasi dalam mengelola keanekaragaman dan kesatuan Indonesia.

Rekonseptualisasi Identitas Nasional dan Peran Pancasila

Esai "Telor Ayam Jantan dan Ibu Garuda Pertiwi" oleh Emha Ainun Nadjib berpuncak pada perenungan kritis terhadap nasionalisme dan identitas nasional Indonesia. Perdebatan tentang "kokok ayam" dan ragam interpretasinya menjadi simbol luas untuk diskusi yang lebih besar tentang apa artinya menjadi Indonesia dan bagaimana Pancasila harus ditempatkan dalam konteks modern ini.

Mengambil inspirasi dari teori identitas sosial Henri Tajfel, kita melihat bahwa identitas individu dan kolektif terbentuk melalui interaksi dalam grup dan perbandingan dengan grup lain. Dalam konteks Indonesia, identitas nasional sering kali digambarkan sebagai harmonisasi dari keberagaman---ide yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, Nadjib menantang pandangan ini dengan menunjukkan bahwa sering kali ada upaya untuk memaksakan homogenitas yang mengesampingkan kekayaan keanekaragaman tersebut.

Teori dialogis Mikhail Bakhtin menawarkan wawasan lainnya. Bakhtin berpendapat bahwa makna tercipta melalui dialog, yang menekankan pentingnya berbagai suara dan perspektif dalam menciptakan keutuhan makna. Apabila kita mengaplikasikan teori ini ke dalam konteks nasionalisme Indonesia, maka menjadi jelas bahwa sebuah pendekatan yang terlalu monolitik terhadap identitas nasional---seperti yang tercermin dalam dominasi budaya "Gue-gue" Jakarta---mengabaikan prinsip dialogis yang seharusnya mendukung keberagaman.

Lebih jauh lagi, teori performatifitas Judith Butler menawarkan kerangka kerja untuk memahami bagaimana identitas dibentuk dan diaktualisasikan melalui tindakan berulang yang menegaskan norma tertentu. Dalam konteks Indonesia, peringatan dan perayaan Pancasila dapat dilihat sebagai performa nasional yang menegaskan nilai-nilai tertentu. Namun, penting untuk mempertanyakan, apakah performa ini benar-benar mencerminkan nilai dan aspirasi seluruh masyarakat Indonesia?

Nadjib menggunakan metafora Ibu Garuda Pertiwi sebagai pengingat bahwa Indonesia, seperti Garuda, adalah pengayom yang melindungi dan mendukung keberagaman anak-anaknya, bukan hanya mengatur atau menghomogenkan mereka. Ini membawa kita pada pemikiran kritis tentang bagaimana Pancasila sebagai ideologi nasional diperlukan untuk didialogkan kembali, bukan hanya diulang sebagai mantra tetapi dihidupkan sebagai prinsip yang benar-benar inklusif dan mencerminkan keberagaman Indonesia yang sebenarnya.

Dengan cara ini, Pancasila bisa kembali ke akarnya sebagai fondasi yang menghargai dan melindungi pluralitas, menjadikan Indonesia bukan hanya sekumpulan pulau tetapi satu kesatuan yang kuat dalam keragaman. Penutupan esai Nadjib mengingatkan kita semua bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kearifannya untuk merangkul dan merayakan perbedaannya, sebuah pesan yang tetap relevan dan mendesak untuk direfleksikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun