Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenang Persaudaraan Haji Tahun 2006

24 Mei 2024   07:00 Diperbarui: 24 Mei 2024   07:03 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2006, saya berkesempatan menunaikan ibadah haji, sebuah pengalaman yang terkenal sebagai "haji kelaparan" karena kelalaian penyelenggaraan haji pemerintah Indonesia yang menyebabkan kami, para jemaah haji Indonesia, mengalami kekurangan makanan. Keadaan ini mengajarkan kami arti berbagi dan persaudaraan yang sebenarnya.

Di Mina dan Arafah, keramahan jemaah haji Malaysia terlihat jelas ketika mereka dengan sukarela membagikan makanan mereka kepada kami. Solidaritas ini mengharukan dan menjadi simbol persaudaraan sejati.

Suatu hari, setelah melempar jumrah, saya bersama istri, seorang teman, dan istrinya memutuskan untuk mencari makan. Kami menemukan sebuah kedai makanan cepat saji di pinggir jalan dengan antrean panjang yang terdiri dari laki-laki, yang hanya boleh membeli dua porsi dengan harga sepuluh riyal per porsi. Antrean mengular panjang dan dipisahkan oleh pagar besi, sehingga ketika masuk ke dalam antrean tidak bisa mundur atau keluar.

Antrean itu bukan hanya panjang tetapi juga penuh desakan. Di tengah rasa lelah dan lapar, kami berdesakan dengan jemaah lain, terjepit dalam kerumunan yang menekan dari segala arah. Nafas kami terengah-engah, dada kami terasa sesak seolah-olah udara di sekitar kami tersedot habis oleh lautan manusia yang tak terhitung jumlahnya. Setiap dorongan dari belakang semakin mempersempit ruang gerak kami, meningkatkan kepanikan yang pelan-pelan menguasai.

Sumber: popmama.com
Sumber: popmama.com

Dalam keadaan yang hampir tak tertahankan itu, saya dan teman saya berbincang. "Lihatlah, semua orang di sini, mungkin ada yang kaya raya di negeri mereka. Tapi di sini, kita semua sama," ujarnya. "Tidak ada bedanya antara kaya dan miskin. Kita semua sama-sama merasakan kelelahan dan kelaparan."

Setelah perjuangan yang tampaknya tidak akan berakhir, kami berhasil membeli makanan. Kami duduk bersama, menyantap makanan yang meski sederhana, terasa seperti hidangan terlezat yang pernah ada. Dalam kesederhanaan itulah kami menemukan pelajaran spiritual yang mendalam.

Teman saya menatap saya dengan serius, "Setelah dari sini, pulang ke tanah air, sangat rugi jika kita tidak menjadikan persaudaraan yang kita bina di sini menjadi lebih erat."

Momen-momen seperti ini, yang dipenuhi dengan kesederhanaan dan kebersamaan, menjadi pelajaran yang tidak terlupakan. Haji mengajarkan kami bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana kasih dan kepedulian harus selalu hadir dalam setiap interaksi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun