Mimpi di Pinggir Jalan
Di sudut pasar tua kota ini, Â
di mana jejak kaki bercampur debu, Â
seorang tua dengan senyum lebar Â
menjual mimpi-mimpi yang tak terucap.
Kardus-kardusnya penuh dengan harapan, Â
matahari setiap hari menjilat luka-lukanya, Â
tapi dia tetap bertahan, Â
di pinggir jalan, ia berdiri sebagai monumen Â
kegigihan yang tak kenal menyerah.
Kerut di wajahnya, peta jalan hidup, Â
di setiap lipatan cerita perjuangan. Â
Dia berbicara dalam bahasa yang hanya Â
dipahami oleh mereka yang mendengar Â
dengan hati, bukan hanya dengan telinga.
Anak-anak berlarian, mengejek waktu, Â
sementara dia mengukir senyum pada kayu, Â
membuat mainan dari sisa-sisa kayu bekas, Â
setiap potongan adalah doa, Â
setiap ukiran adalah asa.
"Mari, beli mimpi," katanya, Â
"biarkan mereka menari dalam tidurmu."Â
Di sini, di tepi kenyataan, Â
dia menjual bukan hanya barang dagangannya, Â
tapi jendela-jendela ke dunia yang lebih baik.
Langit semakin merah, lampu-lampu mulai menyala, Â
dia mengumpulkan barang-barangnya, Â
mungkin besok, akan ada yang membeli, Â
mungkin besok, dunia akan lebih ramah Â
bagi pemimpi yang terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H