Alfan duduk di bangku taman, di kawasan jalan Ijen Kota Malang, menghirup udara sejuk di sore hari. Temannya, Bayu, duduk di sampingnya, sibuk dengan ponselnya.
"Kau serius, Fan? Berkeliling dunia, tanpa pikiran untuk punya anak?" tanya Bayu, setengah tidak percaya.
"Serius, Yu. Aku menikmati kebebasanku," jawab Alfan, sambil memandang langit yang mulai meredup. "Menjadi ayah itu... itu seperti mengikat diri dengan sejuta tanggung jawab yang tak pernah berakhir."
Bayu tertawa kecil. "Kau bicara seperti orang tua kita dulu. Ingat tidak, sore-sore di musim kemarau, kita sering ikut ayahmu memancing di Waduk Selorejo?"
Alfan mengangguk, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Ayah selalu bilang, memancing itu ibarat menunggu momen dalam hidup. Kadang harus sabar untuk mendapatkan yang terbaik."
"Dan kau ingat apa yang ayahmu selalu katakan tentang menjadi ayah?" tanya Bayu, mencoba menarik perhatian Alfan dari kenangan lalu.
Alfan mendesah. "Dia bilang itu anugerah terbaik dalam hidupnya. Tapi aku... Aku tak yakin aku bisa seperti dia."
Bayu menepuk bahu Alfan, "Waktu akan menjawabnya, Fan. Mungkin suatu hari nanti pandanganmu akan berubah."
Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan yang hanya sesekali terpecah oleh suara anak-anak bermain di kejauhan. Malam mulai turun, dan lampu-lampu di taman mulai menyala, mengusir perlahan bayang-bayang senja.
"Bagaimana kalau kita lakukan perjalanan itu bersama, sebelum kau memutuskan untuk jadi ayah atau tidak?" usul Bayu, mencoba meringankan suasana.