Di tengah hiruk pikuk persiapan Idul Fitri di daerah saya, Sidoarjo, ada hal unik dalam tradisi "weweh," sebuah praktik pemberian yang mengandung makna mendalam. Kegiatan ini umumnya dimulai kira-kira tiga hari menjelang Idul Fitri, saat situasi penuh dengan harapan dan kegembiraan setelah hampir sebulan penuh berpuasa.
Di keluarga saya yang sederhana, saya dan keluarga bersiap-siap untuk melakukan tradisi weweh. Tradisi ini, seperti yang telah dijelaskan oleh kerabat tua, berasal dari kata Jawa "menehi," "wenehi," atau "ngewehi," yang berarti memberi. Inti dari tradisi ini adalah memberikan makanan atau kebutuhan pokok kepada sanak saudara yang lebih tua, sebuah tindakan yang melambangkan penghormatan dan kasih sayang dari generasi muda kepada yang lebih tua.
Zahra, sebagai anak bungsu saya, nanti diberi tugas untuk mengantarkan bingkisan lebaran (wewehan) kepada paman, bibi, dan kerabat tua lainnya dari keluarga kami, yang bisa dijangkau dengan bersepeda. Dalam persiapannya, dia dan ibunya mengemas beras, minyak, gula, mie instan, serta tambahan biskuit kaleng, sirup, susu, teh, dan kopi. Mereka memilih barang-barang ini dengan hati-hati, memastikan bahwa bingkisan tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar tetapi juga membawa keceriaan lewat biskuit dan sirup yang manis.
Keesokan harinya, dengan tas belanja di tangan, Zahra berkeliling dari rumah ke rumah. Setiap kali dia menyerahkan bingkisan, wajah penerima berubah cerah, mereka tersenyum lebar dan memberikan doa serta ucapan terima kasih. Uniknya, tradisi ini juga membawa kegembiraan bagi Zahra, karena setiap kali dia menyerahkan sebuah bingkisan, dia menerima sejumlah uang atau "sangu" dari kerabat yang dikunjunginya. Bagi Zahra, ini bukan hanya tentang uang tersebut, tetapi lebih kepada rasa kebersamaan dan kedekatan yang terjalin saat bertemu dan berinteraksi dengan keluarga besarnya.
Di sisi lain, tradisi ini mengajarkan Zahra tentang pentingnya mengatur keuangan. Istri saya juga harus pintar mengatur jumlah dan jenis bingkisan agar tidak menguras kantong, terutama karena harus mempersiapkan wewehan untuk banyak kerabat. Nilai wewehan berkisar antara 100 ribu hingga 250 ribu per paket, dan dengan jumlah sanak saudara yang banyak, saya harus mengalokasikan dana ekstra hingga 5 juta rupiah.
Namun, lebih dari itu, keluarga kami terus belajar tentang arti memberi dan berbagi. Tradisi weweh, meski terkesan sederhana, mengandung nilai-nilai kebersamaan, rasa hormat, dan kasih sayang yang mendalam. Di hari raya, ketika kami berkunjung kembali bersama keluarga, senyuman dan hangatnya sambutan membuat semua persiapan dan pengorbanan terasa berharga.
Melalui tradisi weweh, saya dan keluarga tidak hanya merayakan Idul Fitri dengan suka cita, tetapi juga melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Sidoarjo, mengingatkan setiap orang tentang pentingnya silaturahmi dan kehangatan hubungan antarmanusia. Cerita saya ini, meski hanya sekelumit dari kekayaan tradisi di Sidoarjo, membawa pesan bahwa dalam kesederhanaan terdapat kekayaan hati yang tak terhingga. Semoga tradisi weweh akan terus awet sepanjang masa, menjadi saksi bisu dari kasih sayang yang tak lekang oleh waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H