Di sebuah negeri yang terkenal dengan keunikannya, Etikaland, politik dijalankan dengan cara yang sangat berbeda dan tak terduga. Para elite negeri ini telah kehilangan kesadaran dan tanggung jawab mereka terhadap nilai dan moralitas kekuasaan. Sebagai gantinya, mereka memainkan permainan yang absurd dan hampir mirip dengan reality show.
Di Etikaland, ada tiga isu utama yang menggemparkan panggung politik: Pertama, keputusan Mahkamah Kasak-Kusuk tentang batasan usia calon presiden yang menimbulkan kebingungan lebih dari solusi. Kedua, munculnya Paijo, seorang cawapres yang datang dari dunia dongeng, mendampingi Jarwo, seorang jenderal gendut yang suka berjoget. Ketiga, adanya keretakan dalam partai JJSS (jowal-jawil suka-suka) yang dipimpin oleh boneka karet yang bisa mengubah ekspresi wajahnya sesuai mood.
Panggung politik Etikaland penuh dengan intrik dan taktik yang tidak masuk akal. Pada suatu hari, mereka mengadakan debat yang harus dijawab dengan pantun, dan kebijakan diputuskan dengan lomba makan nasi pecel. Semua konflik internal dan eksternal partai politik diselesaikan dengan turnamen batu-gunting-kertas yang epik.
Dalam berpolitik, garis antara kawan dan lawan begitu samar, sehingga muncul pertandingan tahunan "Tebak Siapa Temanmu", di mana para politisi harus menebak siapa yang sebenarnya berada di pihak mereka. Kekuasaan memberi dampak yang luar biasa, terutama ketika para elit partai menggunakannya untuk mengadakan kompetisi fesyen bertema "Diktator Chic".
Di Etikaland, politik adalah transaksi jual beli barang dan jasa. Setiap pemilu dijalankan seperti lelang besar, di mana suara dijual ke penawar tertinggi, dan para pemenang mendapatkan hadiah seperti perjalanan ke Disneyland atau tiket konser K-pop.
Krisis multidimensi yang dihadapi negeri ini lebih mirip dengan acara komedi. Elite politik dan birokrasi lebih sibuk bermain peran dalam sinetron politik daripada mengurus negara. Setiap episode sinetron politik ini selalu diakhiri dengan adegan tawa bersama, seolah-olah semua masalah adalah lelucon semata.
Masyarakat sipil, di satu sisi, menjadi sangat apatis dan terhibur dengan pertunjukan politik yang tidak ada habisnya ini. Mereka lebih memilih untuk menonton para politisi bertarung dalam arena gulat lumpur daripada memperhatikan isu-isu politik yang serius.
Di tengah semua kekacauan ini, filosof Etikaland, Ferguso, mencoba mengingatkan tentang pentingnya dialektika kekuasaan. Namun, setiap kali dia berbicara, dia terganggu oleh kelompok komedian yang selalu muncul untuk mengubah diskusi serius menjadi sketsa komedi.
Ketika pemilihan presiden tiba, calon-calonnya tidak lagi berdebat tentang kebijakan atau visi, melainkan berkompetisi dalam pertunjukan bakat. Pemenangnya adalah yang paling menghibur, tanpa memperhatikan kemampuan mereka untuk memimpin negara.
Di Etikaland, politik telah menjadi pertunjukan yang murni, di mana substansi dan esensi hilang, digantikan oleh tampilan luar yang menarik dan menghibur. Pendulum demokrasi bukan lagi tentang akses atau keadilan, melainkan tentang siapa yang paling populer di media sosial.
Di akhir hari, warga Etikaland tertidur dengan mimpi tentang negara yang lebih baik, tetapi bangun dengan kenyataan bahwa politik mereka hanyalah sirkus yang tak pernah berakhir, penuh dengan badut-badut yang berpura-pura menjadi pemimpin.