Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menjaga Para Penjaga: Menyelamatkan KPK dari Krisis Kepercayaan

1 Desember 2023   08:27 Diperbarui: 1 Desember 2023   08:27 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata siap melanjutkan kasus korupsi di Kementan, Senin (27/11/2023). KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

Pengkhianatan Terhadap Kepercayaan Publik

Ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, dijadikan tersangka dalam kasus dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), gelombang keprihatinan melanda hati setiap warga yang telah lama menaruh harapan pada lembaga anti-korupsi ini. Kasus ini tidak hanya seputar tuduhan pemerasan atau gratifikasi, tetapi juga tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah berjuang keras melawan korupsi, penyakit kronis yang telah lama merusak dasar-dasar tata kelola yang baik. KPK, sebagai lembaga independen, diharapkan menjadi benteng terakhir dalam perang melawan korupsi. Namun, ketika pemimpin lembaga ini terjerat dalam kasus yang ironisnya mirip dengan apa yang mereka lawan, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Siapa yang menjaga para penjaga?

Kita harus mengakui bahwa kasus ini menciptakan paradoks yang mengecewakan. Di satu sisi, KPK selalu dianggap sebagai simbol perjuangan melawan korupsi. Di sisi lain, keterlibatan pemimpinnya dalam kasus hukum telah menciptakan keraguan terhadap integritas institusi itu sendiri. Ini adalah setback yang dalam pada upaya melawan korupsi di Indonesia, dan bahkan lebih, menjadi pengingat pahit bahwa tidak ada yang terhindar dari rayuan kekuasaan dan korupsi.

Kita, sebagai warga negara, berhak merasa kecewa dan prihatin. Kepercayaan yang diberikan pada KPK dan pemimpinnya bukan sesuatu yang mudah dibangun. Dengan kasus ini, kepercayaan tersebut tampaknya hancur dalam sekejap. Jika pemimpin lembaga yang bertugas memerangi korupsi bisa terlibat dalam tindakan korupsi, di mana lagi rakyat bisa meletakkan harapannya untuk negara yang bersih dan adil?

Tentu saja, prinsip hukum dasar harus dipegang teguh: seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan. Namun, dalam konteks kepercayaan publik, kerusakan sudah terjadi. Kita berada pada persimpangan jalan di mana kepercayaan publik pada lembaga anti-korupsi terancam terkikis, situasi yang sangat berbahaya untuk kesehatan demokrasi kita.

Refleksi Kritis terhadap Sistem Pengawasan

Mengambil dasar keprihatinan ini, kita harus mempertanyakan dan merefleksikan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang berlaku di Indonesia. Kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Firli Bahuri membuka mata kita terhadap potensi kerentanan sistem yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga integritas. Dalam demokrasi yang sehat, tidak cukup hanya memiliki lembaga anti-korupsi; sama pentingnya adalah sistem yang memastikan lembaga-lembaga tersebut beroperasi secara efektif, transparan, dan akuntabel.

Situasi ini juga mendorong kita untuk mempertanyakan lebih dalam bagaimana kita, sebagai masyarakat dan negara, memandang dan menangani korupsi. Apakah kita telah menciptakan lingkungan di mana korupsi, dalam bentuk apa pun, menjadi tidak dapat diterima? Ataukah kita masih terjebak dalam lingkaran korupsi yang begitu dalam, hingga bahkan mereka yang memiliki kekuasaan untuk melawannya bisa terperangkap di dalamnya?

Lebih lanjut, kasus ini menggarisbawahi perlunya pembaruan dan penguatan lembaga-lembaga pengawas internal dan eksternal. Pengawasan yang efektif tidak hanya datang dari mekanisme internal, tetapi juga dari media, masyarakat sipil, dan lembaga independen lainnya. Semua pihak harus memainkan peran aktif dalam mengawasi dan memastikan bahwa setiap penyimpangan, terutama yang dilakukan oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan, tidak luput dari pengawasan.

Kita juga harus mengingat bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah budaya. Perubahan budaya yang mendukung transparansi dan integritas membutuhkan waktu dan komitmen kuat dari semua lapisan masyarakat. Pendidikan tentang anti-korupsi, peningkatan kesadaran publik, dan partisipasi aktif dalam mengawasi tata kelola negara adalah kunci dalam membangun ekosistem bebas korupsi.

Sebagai bangsa, kita harus bersikap kritis dan waspada. Kasus ini harus menjadi titik balik bagi kita untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem pengawasan dan akuntabilitas. Ini bukan hanya tentang Firli Bahuri atau KPK; ini tentang masa depan demokrasi dan keadilan di Indonesia.

Menggagas Perubahan dan Kebangkitan Harapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun