Pada malam yang dingin dan sunyi ini, itu mengingatkan saya pada pepatah lama yang sering terdengar di masyarakat kita, "Tidak ada pahlawan tanpa penjahat."
Kata-kata ini menggema dalam pikiran saya, menarik kembali tirai-tirai kenangan dan pemikiran yang mendalam.
Di awal perjalanan setiap pahlawan, sering kali ada bayangan kejahatan yang merayap mendahuluinya. Seperti benih yang ditanam dalam kegelapan, kejahatan muncul sebagai entitas yang sudah ada, menunggu di balik keheningan yang mengintai.
Dalam setiap cerita yang kita kenal, kejahatan adalah yang pertama bergerak, sumber dari semua konflik yang akhirnya menciptakan pahlawan.
Kejahatan ini, seperti musim kemarau yang panjang dan gelap, menjadi panggung bagi pahlawan untuk bangkit dan bersinar. Ini bukan hanya tentang konflik antara kebaikan dan kejahatan, tetapi juga tentang seberapa sering kejahatan mendahului kebaikan, memberikan panggung bagi tindakan heroik untuk terjadi.
Refleksi ini membawa saya pada pemikiran lain: bahwa dalam banyak cerita, penjahat seringkali lebih banyak jumlahnya daripada pahlawan.
Seperti bintang-bintang di langit malam, mereka tersebar, masing-masing dengan keunikan mereka sendiri. Namun, di antara kerumunan ini, seringkali hanya ada satu pahlawan yang berdiri melawan mereka.
Satu sosok yang dengan berani menghadapi gelombang kejahatan yang tidak kenal lelah. Ini adalah perjuangan yang tidak seimbang, perang satu lawan banyak, tetapi itulah yang membuat cerita heroik begitu menarik.
Pahlawan menjadi simbol keteguhan, keberanian yang teguh di tengah kekacauan dan kejahatan yang tak pernah berakhir.
Selanjutnya, dalam cerita-cerita, kejahatan seringkali tampaknya beregenerasi, tidak pernah habis atau berkurang. Seperti mitos Hydra yang tumbuh dua kepala setiap kali satu dipotong, kejahatan terus muncul dalam berbagai bentuk dan wajah.