Isu mengenai "dosen killer" atau dosen yang terkenal keras dalam mengajar dan menilai, telah menarik perhatian banyak pihak, terutama di kalangan akademisi dan mahasiswa. Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi salah satu institusi pendidikan yang aktif merespons isu ini dengan melarang praktek "dosen killer" di kampusnya. Langkah ini diambil dengan tujuan untuk menciptakan suasana kampus yang aman, nyaman, dan mendukung kesehatan mental mahasiswa (Goriau.com (01/11/23), Jaga Kesehatan Mental Mahasiswa, UGM Larang Dosen 'Killer'). UGM pun mengembangkan prosedur operasi standar (SOP) untuk mencegah keberadaan dosen killer dan mempromosikan nilai-nilai antikekerasan di lingkungan kampus, mencakup antikekerasan verbal, psikologis, fisik, seksual, dan simbolik (Kompas.com (03/11/23), Di Balik Larangan "Dosen Killer" di UGM).
Di sisi lain, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja menawarkan solusi dimana mahasiswa dapat ikut menilai dosennya, dan hasil penilaian tersebut dapat berimbas pada kenaikan pangkat dosen (Detik.com (02/11/23) Cegah Dosen 'Killer', Mahasiswa UIN Jogja Bisa Nilai Dosennya). Respons ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan di Indonesia sedang berupaya mengatasi isu "dosen killer" untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif. Namun, implementasi dan efektivitas dari kebijakan-kebijakan tersebut masih perlu terus dievaluasi untuk memastikan bahwa tujuan utamanya tercapai, yaitu menciptakan suasana akademik yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan mahasiswa.
***
Memahami kompleksitas faktor yang mendorong seorang mahasiswa untuk mempertimbangkan mengakhiri hidupnya sangat penting sebelum menyalahkan satu faktor tunggal seperti keberadaan "dosen killer." Saya akan mencoba menelusuri dan mendiskusikan aspek-aspek yang terkait dengan isu ini dan mengapa penanganannya memerlukan sudut pandang yang luas dan tindakan yang komprehensif.
Dalam konteks akademik, mahasiswa seringkali menghadapi tekanan tinggi yang berasal dari harapan pribadi, keluarga, dan lembaga pendidikan. Dosen dengan reputasi sebagai pengajar "killer" sering dianggap sebagai pemicu tambahan tekanan ini. Mereka dikenal karena tuntutan akademik yang tinggi, penilaian yang ketat, dan kurangnya fleksibilitas dalam pendekatan pengajaran. Persepsi ini dapat memengaruhi pandangan mahasiswa terhadap sistem pendidikan dan berkontribusi pada stres mereka.
Namun, mengaitkan perilaku seorang dosen secara langsung dengan tindakan ekstrem seperti bunuh diri adalah penyederhanaan dari masalah yang kompleks. Bunuh diri terjadi sebagai akibat dari rangkaian peristiwa dan kondisi psikologis yang sangat pribadi, seringkali melibatkan masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, yang mungkin tidak terdeteksi atau tidak diatasi. Kondisi-kondisi ini dapat diperparah oleh faktor stres lain, termasuk tekanan akademik, tetapi jarang terjadi karena satu faktor tunggal.
Dari sudut pandang kebijakan universitas, daripada menyalahkan dosen atas tekanan yang dihadapi mahasiswa, lebih bermanfaat untuk mencari cara meningkatkan dukungan baik bagi mahasiswa maupun dosen. Institusi pendidikan sebaiknya meninjau ulang metode pengajaran dan penilaian mereka serta menyediakan sumber daya kesehatan mental yang memadai. Pelatihan kesadaran kesehatan mental bagi fakultas dan administrasi, penyediaan layanan konseling yang lebih baik dan mudah diakses bagi mahasiswa, serta program-program yang dirancang untuk mengidentifikasi dan mengatasi stres adalah langkah-langkah penting yang perlu dipertimbangkan.
Selain itu, universitas dapat meningkatkan pendekatan pengajaran yang lebih inklusif dan mendukung, di mana dosen dilatih untuk mengenali dan merespons kebutuhan unik setiap mahasiswa. Hal ini tidak berarti menurunkan standar akademik, tetapi mencari keseimbangan antara keunggulan akademik dan kesejahteraan mahasiswa. Institusi pendidikan juga harus menciptakan budaya di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara tentang tantangan mereka dan mencari bantuan tanpa takut akan stigma sosial.
Keterlibatan keluarga dan masyarakat juga sangat penting. Keluarga sebaiknya diberikan informasi tentang tanda-tanda peringatan dan sumber daya yang tersedia untuk membantu anggota keluarga yang mengalami stres atau masalah kesehatan mental. Demikian pula, menciptakan masyarakat kampus yang kuat yang memberikan rasa memiliki dan dukungan bagi mahasiswa dapat berfungsi sebagai jaring pengaman yang penting.
Dalam hal ini, kesadaran dan pendidikan tentang kesehatan mental sebaiknya diperkuat di semua tingkat universitas. Mata kuliah tentang kesehatan mental dan manajemen stres dapat menjadi bagian wajib dari kurikulum, membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan untuk mengatasi tekanan akademik dan kehidupan pribadi mereka.