Tak jarang, para politisi datang dengan janji-janji yang kedengarannya luar biasa, mengesankan, dan terkadang bahkan fantastis. Janji-janji tersebut sering kali menggoda telinga, tapi kenyataannya? Kita seringkali merasa dipermainkan ketika janji tersebut tak kunjung direalisasikan. Mengapa? Karena janji tersebut sering kali dibuat tanpa pertimbangan yang matang, hanya untuk menarik perhatian atau mendapatkan dukungan.
Anak A, yang berjanji akan menghasilkan pisang sebesar Tugu Monas, mengingatkan kita pada para pemimpin yang membuat klaim besar tentang hasil pertanian atau produksi dalam negeri. Mereka berjanji akan melakukan revolusi di sektor ini atau itu, meningkatkan produksi hingga mencapai angka yang tak masuk akal, hanya untuk mendapatkan dukungan dari sektor tertentu dari masyarakat.
Anak B, dengan janjinya mengenai wajan penggorengan seukuran stadion JIS, mewakili mereka yang menjanjikan infrastruktur megah, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut benar-benar diperlukan oleh masyarakat. Infrastruktur memang penting, namun apakah selalu semakin besar berarti semakin baik?
Dan C, dengan cone es krim sebesar Menara Eiffel, menggambarkan janji-janji yang dibuat hanya untuk "menyaingi" atau "mengalahkan" janji lain, tanpa memikirkan logika atau kelayakannya. Ini adalah refleksi dari politik yang seringkali menjadi ajang kompetisi ego, di mana tujuan utamanya adalah mengalahkan lawan politik, bukan melayani masyarakat.
Keprihatinan kita muncul ketika kita menyadari bahwa janji-janji ini, meskipun terdengar absurd dalam konteks cerita anak-anak, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sering kita dengar dari para pemimpin kita. Seberapa sering kita diberi harapan palsu? Seberapa sering kita diberikan gambaran masa depan yang cerah, namun kenyataannya jauh dari harapan?
Mungkin saatnya kita, sebagai masyarakat, memulai gerakan kritis terhadap setiap janji yang dilontarkan. Pertanyakan logika di balik setiap klaim. Evaluasi kebutuhan riil masyarakat dan bandingkan dengan apa yang dijanjikan. Kita perlu mengembangkan pemikiran analitis, bukan hanya menerima setiap kata-kata manis yang dilemparkan kepada kita.
Kita harus mengingat bahwa setiap janji memiliki konsekuensi. Janji-janji yang tidak dipenuhi tidak hanya mengecewakan, tetapi juga dapat menghambat kemajuan suatu negara atau masyarakat. Kita perlu lebih waspada, lebih kritis, dan lebih tajam dalam menilai setiap janji yang diberikan.
Akhirnya, cerita tiga anak pembual ini, meskipun simpel dan lucu, memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan sikap kita terhadap janji-janji politik. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita ini dan mulai memandang janji-janji politik dengan lebih kritis dan analitis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H