Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Anda Follow Akun Media Sosial Partai Politik?

20 Oktober 2023   06:11 Diperbarui: 20 Oktober 2023   06:29 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polling atau survei online. Gambar oleh katemangostar dari Freepik

Sebuah daun musim kemarau jatuh di halaman rumah, mencerminkan sifat alam yang selalu berubah. Sama halnya dengan dinamika politik di negeri ini. Sebuah polling baru-baru ini dari media siber nasional mengejutkan banyak pihak: 88,50% dari 2382 responden menyatakan tidak mengikuti akun media sosial partai politik. Angka ini memicu refleksi mendalam jelang Pemilihan Umum 2024.

Mengapa begitu sedikit orang yang tertarik untuk mengikuti akun media sosial partai politik? Apakah ini mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia politik, ataukah ada faktor lain?

Pertama, mari kita pertimbangkan pendekatan Emile Durkheim mengenai solidaritas sosial. Durkheim mengklaim bahwa dalam masyarakat modern, solidaritas berbasis pada ketergantungan fungsional antar individu. Dalam konteks media sosial, solidaritas ini mungkin tercermin dalam bagaimana individu memilih sumber informasi mereka. Dengan begitu banyak sumber informasi yang tersedia, mungkin saja masyarakat kini lebih memilih untuk mengikuti akun yang secara spesifik menyediakan informasi yang relevan bagi kehidupan sehari-hari mereka, bukan akun partai politik yang mungkin saja dianggap terlalu umum atau kurang objektif.

Max Weber, seorang sosiolog lain, berbicara mengenai konsep "disenchantment", di mana masyarakat modern cenderung bersifat rasional dan kritis. Dalam era informasi, masyarakat kini memiliki akses yang lebih mudah untuk memverifikasi informasi. Mereka mungkin merasa bahwa informasi dari sumber resmi, seperti akun partai politik, tidak selalu dapat dipercaya atau mungkin bersifat bias. Ini, tentunya, mengisyaratkan tantangan besar bagi partai politik menjelang Pemilihan Umum 2024.

Dari perspektif teori sosial Pierre Bourdieu, ruang publik seperti media sosial bisa dilihat sebagai sebuah "lapangan" di mana berbagai entitas berkompetisi untuk dominasi simbolik. Dalam konteks ini, mungkin saja partai politik belum berhasil menonjol di antara keramaian dan membangun dominasi simbolik di media sosial. Mereka perlu mempertimbangkan ulang strategi komunikasi mereka, mungkin dengan cara yang lebih autentik dan relevan dengan kehidupan masyarakat.

Tentu, ada banyak interpretasi lain mengenai hasil polling ini. Tapi satu hal yang jelas: hasil polling ini bukanlah tanda baik bagi partai politik. Mereka perlu memikirkan ulang strategi komunikasi mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan pemilih, terutama generasi muda yang cenderung aktif di media sosial.

Sebagai refleksi, kita harus mempertanyakan peran kita sebagai warga negara. Apakah kita hanya sekadar pemilih pasif, atau apakah kita akan aktif mencari informasi, memverifikasi fakta, dan membuat keputusan yang terinformasi? Menjelang Pemilihan Umum 2024, kita dihadapkan pada pilihan yang penting: antara apatis atau aktif, antara pasif atau proaktif.

Seperti daun yang jatuh, masyarakat kita berada di persimpangan. Polling dari media siber nasional ini seharusnya menjadi momentum bagi kita semua, baik masyarakat maupun partai politik, untuk merenung dan bersiap untuk masa depan yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun