Kleptokrasi, sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani 'klepto,' yang berarti pencurian, dan 'kratos,' yang berarti kekuasaan atau pemerintahan, menggambarkan fenomena di mana pemimpin menggunakan kekuasaan negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tidak asing. Namun, apakah korupsi di negara ini benar-benar telah mencapai titik kleptokrasi? Dalam pemeriksaan ini, kita akan menggali lebih dalam tanda-tanda kleptokrasi di Indonesia dan menjelajahi langkah-langkah untuk mencegah jurang korupsi yang lebih dalam.
Istilah "kleptokrasi" pertama kali muncul pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1819, dalam sebuah karya berjudul "Thieves, Ancient and Modern," yang terdapat dalam edisi ke-12 dari publikasi "The Indicator," yang ditulis oleh penulis Inggris Leigh Hunt (1784-1859). Pada saat itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan Spanyol. "Kleptokrasi" merupakan gabungan dari unsur-unsur bahasa Yunani, "klepto," yang berarti pencurian, yang berasal dari kata kerja "klptein," yang menunjukkan tindakan mencuri, dan "-krata," yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemerintahan, terkait dengan kata kerja "krtos," yang berarti kekuasaan.
Selain itu, Merriam-Webster dan Dictionary.com juga mencatat bahwa penggunaan pertama istilah "kleptokrasi" berasal dari tahun 1819. Meskipun terdapat referensi terkait seperti "kleptistic" pada tahun 1743, istilah "kleptokrasi" sendiri baru muncul pada tahun 1819.
Dari berbagai sumber ini, dapat disimpulkan bahwa istilah "kleptokrasi" pertama kali muncul pada tahun 1819 melalui karya Leigh Hunt dan kemudian menjadi lebih umum digunakan untuk menggambarkan pemerintahan korup di mana pemimpinnya menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Kleptokrasi dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi, serta kerugian besar bagi masyarakat. Beberapa contoh negara yang telah mengalami atau sedang mengalami kleptokrasi termasuk Zaire di bawah kepemimpinan Mobutu Sese Seko dan Malaysia di bawah kepemimpinan Najib Razak.
***
Sejarah panjang Indonesia dengan korupsi telah menciptakan citra negara yang terluka. Kasus-kasus korupsi tingkat tinggi baru-baru ini, seperti keterlibatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, dalam dugaan pemerasan terhadap pejabat tinggi lainnya, menyoroti masalah sistemik yang menggerogoti dasar-dasar demokrasi dan tata kelola kami.
Di tengah kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: Apakah Indonesia menuju kleptokrasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami ciri-ciri dan konsekuensi dari kleptokrasi.
Kleptokrasi menandai pemerintahan di mana korupsi bukan hanya terjadi di permukaan, tetapi telah mengakar dalam sistem. Pemimpin dan kelompok elit menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi, menciptakan pola perilaku koruptif yang sulit diubah.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100 pada tahun 2022, menurun dari skor tahun sebelumnya, yaitu 38 pada tahun 2021. Skor 34 Indonesia berada di bawah rata-rata global, yang adalah 48,45. Skor CPI berkisar antara 0 hingga 100, di mana 0 menunjukkan tingkat korupsi tinggi dan 100 menunjukkan korupsi rendah. Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya anti-korupsi masih belum mencukupi.