Di sebuah kota kecil di sebuah pulau kecil di Indonesia, Raisa, seorang ibu muda, menatap layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Beberapa bulan terakhir, ia telah membangun bisnis onlinenya melalui TikTok Shop, sebuah platform e-commerce yang terintegrasi dengan media sosial. Baginya, ini bukan hanya soal menjual produk, tetapi juga mengenai membangun kisah, hubungan, dan komunitas dengan pelanggannya. Namun, semua usahanya seakan runtuh dalam sekejap ketika pemerintah memutuskan untuk melarang penjualan melalui aplikasi tersebut.
"Dulu, saya berpikir bahwa kita hidup di era digital di mana segala-galanya mungkin. Siapa sangka bahwa pemerintah bisa begitu cepat menghancurkan mimpi-mimpi kecil seperti milikku?" keluh Raisa.
Sebuah kedai kopi di ujung jalan menjadi saksi bisu pertemuan antara Raisa dan beberapa seller lainnya yang menghadapi nasib serupa. Ada rasa kehilangan, tetapi lebih dari itu, ada rasa ketidakpercayaan. "Mereka bilang ini demi UMKM, tetapi apa yang mereka lakukan sebenarnya menghancurkan UMKM seperti kita," kata salah seorang di antaranya.
Konsumen juga tidak luput dari dampaknya. Tika, seorang mahasiswi, dulu sering mencari produk-produk unik di TikTok Shop. Baginya, berbelanja di sana bukan hanya soal membeli barang, tetapi juga soal pengalaman. "Ada keunikan saat berbelanja di TikTok Shop. Aku bisa melihat kisah di balik setiap produk. Tapi sekarang? Aku hanya bisa menatap layar dan merindukan semua itu," ujar Tika.
Ketika pemerintah mengatakan bahwa kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari penjualan lintas negara, ada pertanyaan yang muncul: Apakah pemerintah benar-benar memahami dinamika pasar digital saat ini? Dalam dunia yang serba cepat ini, apakah benar bahwa menghentikan satu platform adalah solusinya?
***
Saya menemukan diri saya merenung, mengapa di era di mana adaptasi dan inovasi adalah kunci, pemerintah memilih untuk mengambil langkah mundur? Bukankah ada cara lain untuk melindungi UMKM dan konsumen tanpa harus mengorbankan kemajuan teknologi dan kreativitas?
Seperti matahari yang terbenam, keputusan ini membawa gelap bagi banyak orang. Namun, seperti matahari yang akan terbit kembali, masyarakat digital Indonesia pasti akan menemukan cara untuk bangkit. Mungkin bukan melalui TikTok Shop, tetapi melalui medium lain, dengan semangat yang sama dan keinginan untuk terus berinovasi.
Namun, ada hal yang tidak bisa dihindari: kehilangan kepercayaan. Bagaimana masyarakat bisa mempercayai sistem ketika keputusan sepihak seperti ini dapat mengguncang fondasi bisnis mereka? Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kepercayaan. Dan membangun kembali kepercayaan itu akan jauh lebih sulit daripada mengklik tombol "hapus".
Saat matahari terbit kembali di kota ini, Raisa, Tika, dan ribuan orang lainnya mungkin telah menemukan cara baru untuk beradaptasi. Namun, luka yang ditimbulkan oleh keputusan ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Dan mungkin saja, ada yang tidak pernah sembuh sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H