pendidikan tinggi yang megah dan terhormat, ada masalah tersembunyi yang saat ini menarik perhatian komunitas ilmiah dan masyarakat umum: masalah kejujuran akademis. Insiden terbaru, yang melibatkan Prof. Dr. H. Imam Taufiq M.Ag, Rektor UIN Walisongo, telah mendapat perhatian yang cukup memprihatinkan, menyoroti perspektif paradoks pendidikan tinggi di negara ini.
Di balik gedung institusiSeorang rektor universitas idealnya harus menjadi teladan bagi mahasiswa, dosen, dan seluruh komunitas akademik. Namun, laporan dari SuaraJawaTengah.id menggambarkan situasi yang sangat berbeda dari harapan ini. Plagiasi yang dilakukan oleh Prof. Imam Taufiq menjadi bukti bahwa krisis moral dan etika bukan hanya masalah bagi mahasiswa, tetapi juga bagi pemimpin di institusi pendidikan tinggi.
Ketika anggota senat UIN Walisongo, dipimpin oleh Ibnu Hadjar, mengumumkan hasil rapat mereka pada hari Rabu, 13 Juni 2023, berbagai emosi muncul. Laporan tersebut menjelaskan bagaimana Imam Taufiq terbukti melakukan plagiasi, tidak hanya pada satu karya ilmiah tetapi juga pada makalah berbahasa Arab yang diterbitkan di JIIS UIN Surabaya dan makalah yang disajikan di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo. Ini memunculkan pertanyaan, "Bagaimana mungkin seorang rektor melakukan plagiasi?"
Dalam ranah akademik, plagiasi adalah tindakan mengambil karya atau ide seseorang dan mengklaimnya sebagai milik sendiri. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga mencerminkan integritas dan profesionalisme seseorang. Abdul Hadi, salah satu anggota senat yang hadir dalam sidang, berharap Imam Taufiq akan bijaksana untuk mengundurkan diri. Pernyataannya menunjukkan kekecewaan mendalam atas tindakan plagiasi yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Penanganan kasus ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Diduga plagiasi Imam Taufiq terhadap karya Muh. Arif Royyani sudah muncul sejak tahun 2019. Fakta bahwa kasus ini baru mendapat perhatian penuh empat tahun kemudian menunjukkan ada ketidaktransparanan. Ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa Senat UIN Walisongo tidak diberitahu tentang instruksi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang meminta klarifikasi dari Imam Taufiq mengenai dugaan plagiasi.
Kasus plagiasi ini juga menunjukkan inkonsistensi dalam penilaian. Dalam rapat pada 18 Agustus 2023, ada dua kelompok dengan pandangan yang berbeda. Kelompok pertama, yang terdiri dari Forum Silaturahmi Guru Besar UIN Walisongo, percaya bahwa Imam Taufiq melakukan plagiasi dengan kemiripan hingga 31%. Di sisi lain, kelompok kedua yang dibentuk oleh Imam Taufiq membantah tuduhan tersebut dengan mengklaim kemiripan hanya sebesar 16%. Ironisnya, ketika diminta untuk menunjukkan teks yang mereka uji, kelompok kedua tidak dapat menyediakannya.
Sebagai ruang yang seharusnya menjadi mercusuar pencarian kebenaran, universitas memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan integritas ilmiah mereka. Kasus plagiasi yang melibatkan Imam Taufiq bukan hanya tentang seseorang yang membuat kesalahan, tetapi lebih dari itu. Ini mencerminkan sistem pendidikan tinggi yang memerlukan refleksi dan introspeksi mendalam.
Baik komunitas akademik maupun masyarakat umum berhak mendapatkan informasi dan memahami apa yang terjadi di dalam lingkungan universitas. Kesadaran kolektif dan kerja sama adalah kunci untuk memastikan bahwa nilai-nilai akademik ditegakkan dengan benar. Seperti yang dikatakan oleh Abdul Hadi, "Tidak ada manusia yang sempurna." Namun, kesempurnaan bukanlah alasan untuk mengabaikan integritas dan etika. Semoga kasus ini menjadi momentum bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk terus meningkatkan kualitasnya dan memastikan bahwa integritas akademik tetap menjadi prioritas utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H