Di sebuah desa yang sunyi, terdapat sebuah rumah kecil yang terbungkus kepedihan. Rumah itu dihuni oleh seorang pemuda bernama Amir. Ia hidup sebatang kara setelah kedua orangtuanya pergi meninggalkannya dalam usia muda. Kini, ia hidup dengan hanya sajadah panjang sebagai teman setianya.
Sajadah panjang itu terbentang dengan rapi di tengah ruang kecil rumah Amir. Kainnya tampak sudah usang, mengingatkan akan perjalanan panjang kehidupan yang telah Amir tempuh. Dari kain yang pernah empuk dan harum, hingga kini telah kusam dan lusuh, begitulah nasib Amir dalam perjalanan hidupnya.
Setiap hari, Amir mencari rezeki dan ilmu. Ia berjalan kaki melewati jalanan berdebu, mengukur setiap langkahnya dengan hati-hati. Meskipun dalam kesendirian, ia tak pernah berhenti berdoa. Suara adzan menggema di tengah keramaian kota, dan Amir pun tahu saatnya untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Dengan wudhu yang suci, Amir kembali pulang ke rumah. Sajadah panjangnya menanti, terbentang di atas lantai yang reyot. Ia tunduk dan mulai sujud, menguburkan wajahnya dalam doa. Doa-doa yang terlantun dari bibirnya adalah cerminan dari kesedihan dan kerinduannya yang mendalam.
Kehidupan Amir seperti sajadah panjang yang terus terbentang. Ia tunduk dalam rukuk, mengheningkan diri dalam sujud. Tangisnya tercampur dengan doa-doa yang ia panjatkan, laksana air yang mengalir mengikuti alur kerutan sajadah. Keringat dan air mata bergabung dalam kerinduan yang tak pernah usai.
Pernahkah Amir berhenti sejenak dari rutinitasnya? Pernahkah ia melihat langit yang biru dan merasakan angin yang lembut? Mungkin. Tapi dalam setiap langkahnya, dalam setiap doanya, ada kesedihan yang tak terpisahkan. Ia melepaskan keringnya, melepaskan rindunya, melepaskan semua yang ia miliki kepada Yang Maha Kuasa.
Hingga suatu hari, sajadah panjang itu tak lagi bersama Amir. Ia dipanggil oleh Sang Pencipta, meninggalkan dunia yang telah begitu dalam merajut kerinduan. Kuburan hamba itu terbentang di tepi pekuburan, di samping kuburan kedua orangtuanya. Dalam perjumpaan terakhirnya, kesedihan menjadi interupsi yang hilang, digantikan oleh kebahagiaan abadi.
Namun, sajadah panjang itu tetap terbentang di rumah kecil itu, menjadi saksi bisu perjalanan seorang pemuda yang penuh kesedihan, kerinduan, dan akhirnya, kebahagiaan yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H