Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Di Balik Ancaman "Manusia Algoritma": Peluang dan Tantangan AI

27 Agustus 2023   22:00 Diperbarui: 27 Agustus 2023   22:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay 

Di tengah percakapan yang saling terkait tentang Kecerdasan Buatan (AI), kita seringkali lupa untuk mengevaluasi hubungan kita sendiri dengan teknologi ini. Kita berbicara tentang "Kelahiran Generasi Manusia Algoritma" dan bahaya menjadi "Manusia Algoritma," tetapi apa yang sebenarnya kita maksud?

Pemudahan ini tidak tanpa konsekuensi. Ketika membahas manusia dan AI, kita harus mempertimbangkan kompleksitas dan nuansa yang membentuk hubungan ini. Teknologi, khususnya AI, adalah hasil kreasi manusia yang ditujukan untuk tujuan tertentu. Seperti semua alat, penggunaan dan dampaknya sangat tergantung pada bagaimana kita menggunakannya dan mengontrolnya.

Tentu saja, ada ancaman bahwa manusia mungkin menyerahkan terlalu banyak kendali kepada mesin, menjadi tergantung dan beroperasi berdasarkan instruksi mesin. Namun, argumen ini seringkali mengabaikan kenyataan bahwa AI tidak beroperasi dalam ruang hampa; ia diciptakan, diprogram, dan digunakan oleh individu. Dengan kata lain, AI mencerminkan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita. Ketika kita merasa terancam oleh AI, kita mungkin perlu mengevaluasi apa yang kita tanamkan ke dalam teknologi ini.

AI juga memiliki potensi besar untuk memfasilitasi kemajuan dalam berbagai bidang, mulai dari kedokteran hingga pendidikan, dari lingkungan hingga industri. Argumen yang menyatakan bahwa AI diciptakan untuk "memanjakan manusia yang malas" mengabaikan kemampuan teknologi ini untuk mengatasi tantangan nyata dan serius yang dihadapi manusia. Memang, kecerdasan buatan memiliki kapabilitas untuk membantu kita menghindari tugas yang membosankan atau melelahkan, dan lebih dari itu, ia bisa membantu kita dalam menyelesaikan masalah yang sebelumnya terlalu sulit atau rumit untuk diatasi.

Tentu saja, strategi dan metodologi yang baik diperlukan untuk memastikan penggunaan AI yang optimal dan beretika. Memberikan informasi dan pendidikan yang cukup tentang AI, merumuskan pedoman etika, dan menetapkan hukum dan peraturan yang jelas dan adil adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk memastikan hal ini.

Namun, ketakutan dan penolakan total terhadap AI bukanlah jawaban. Seperti halnya dengan alat lainnya, kunci untuk menggunakan AI secara efektif terletak pada tangan penggunanya. Jadi, alih-alih merasa terancam oleh konsep "manusia algoritma," kita seharusnya fokus pada bagaimana kita dapat mengintegrasikan AI ke dalam masyarakat kita dengan cara yang mendorong, bukan merusak, kemanusiaan kita. AI dapat menjadi alat yang kuat dalam upaya ini jika digunakan dengan bijak.

Lebih jauh lagi, penting untuk diingat bahwa kecerdasan buatan pada dasarnya tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk menciptakan, memahami, atau menghargai konsep-konsep abstrak seperti kebenaran, etika, atau makna. Meskipun AI dapat meniru pola manusia dan memproses data dalam jumlah besar, semua itu didasarkan pada instruksi dan masukan yang diberikan oleh manusia. Oleh karena itu, argumen bahwa AI dapat mengambil alih fungsi manusia, baik secara mental maupun spiritual, bergantung pada asumsi yang salah.

Jika kita memperhatikan, dalam setiap diskusi tentang "Manusia Algoritma," yang seringkali terlewat adalah konteks dan tujuan manusia itu sendiri. Memang, sebelum kita bisa efektif mengajukan pertanyaan tentang peran AI dalam masyarakat, kita perlu memahami dan mendefinisikan apa tujuan sebenarnya dari manusia dalam dunia ini dan bagaimana AI dapat membantu atau menghambat pencapaian tujuan tersebut.

Pada akhirnya, konsep "Manusia Algoritma" bisa dilihat sebagai metafora yang mencerminkan kekhawatiran kita akan kehilangan kendali atau identitas sebagai manusia. Namun, alih-alih merasa takut dan menolak Kecerdasan Buatan, kita seharusnya menerima dan memanfaatkannya sebagai alat untuk memperluas pemahaman dan kemampuan kita. Alih-alih merasa terancam oleh AI, kita sebaiknya memahami dan memanfaatkannya sebagai mitra dalam mencapai tujuan kita. Alih-alih melihat AI sebagai ancaman, kita seharusnya melihatnya sebagai peluang.

Dalam konteks bisnis, menolak AI berarti menolak kemajuan. AI telah terbukti menjadi alat yang sangat efektif dalam meningkatkan efisiensi, mendeteksi pola, dan membantu dalam pengambilan keputusan. Meskipun penting untuk tetap kritis dan bijaksana dalam penggunaannya, menolak AI berarti melewatkan peluang untuk mengoptimalkan operasi dan mencapai kesuksesan di pasar yang semakin kompetitif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun