Mohon tunggu...
Syahidah Ashofani Ahmad
Syahidah Ashofani Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammaduyah Yogyakarta

Mahasiswi Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengupas Buku tentang Amerika dan Islam Politik

11 Januari 2024   03:47 Diperbarui: 11 Januari 2024   04:09 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Banyaknya pengaruh dalam negeri ini mampu menggerakkan kebijakan AS ke arah yang berlawanan pada saat yang sama. Buku ini mencoba memetakan berbagai penilaian masyarakat dan beberapa pandangan pribadi kalangan elit kebijakan luar negeri AS terhadap kebangkitan Islam untuk menyingkap pan-dangan dari beberapa era pemerintahan yang berbeda dalam kebijakan Amerika, kesinambungannya, serta ragamnya.

Amerika berperan penting dalam membentuk sebagian besar persepsi para pembuat kebijakan mengenai negara-negara Islam. Kebudayaan, seperti didefinisikan Clifford Geertz dan lainnya, adalah pola yang diturunkan sepanjang sejarah mengenai makna serta simbol-simbol dan juga sebuah kumpulan nilai, kepercayaan, sikap, tata cara dan gaya hidup yang dianut bersama. Sebagian besar penentu kebijakan cenderung dipengaruhi budaya yang dominan. Walaupun ancaman militer dari dunia Islam bagi Barat sudah mereda pada akhir abad ke-17, tantangan religius dan intelektual dari Islam terus memenuhi imajinasi banyak orang di Barat.

"Islam ekstremis" makin berganda dengan adanya terorisme internasional maupun domestik dan "hantu" bom nuklir Islam, khususnya bom Iran. Beberapa jajak pendapat yang dilakukan di tahun 1990an menunjukkan dengan jelas bahwa pandangan orang Amerika terhadap Islam dan Muslim dipengaruhi secara dramatis oleh judul-judul berita terbaru, khususnya yang terkait dengan kecurigaan akan terorisme. Sebagai contoh, sebuah jajak pendapat yang kebetulan dilakukan tepat pada hari terjadinya pengeboman di Oklahoma tahun 1995 memperlihatkan kenaikan tajam dalam sikap-sikap negatif terhadap Muslim. Setelah akhirnya jelas bahwa pengeboman itu tidak ada kaitannya dengan terorisme Islamis, beberapa jajak pendapat berikutnya menunjukkan penurunan yang stabil dan signifikan secara statistik dalam hal sikap-sikap "bersahabat" terhadap Muslim dalam beberapa isu penting.

Negara-negara ini juga dianggap memakai dan menyalahgunakan wacana ideologi Islam dengan memberikan bantuan moral dan material kepada "Muslim-muslim ekstremis" yang punya kecenderungan menyabot proses perdamaian di Timur Tengah serta mengacaukan stabilitas politik negara-negara Arab pro-Barat. Timur Dekat suatu konfrontasi genting antara pejuang kebangkitan Islam dengan dunia Yahudi-Kristen.

Yang dilihat sebagai musuh utama saat itu adalah Komunisme, bukan aktivisme Islam. Di samping makin intensnya semangat Islamis dalam beberapa masyarakat Muslim, fokus strategi para pejabat pemerintahan Carter dan Reagan tidak berpindah dari Uni Soviet, dan mereka lebih melihat kaum Islamis baru sebatas gangguan dibanding sebagai ancaman serius. Lebih jauh lagi, pemerintahan Carter dan Reagan menunjukkan kemauan untuk meredam perbedaan-perbedaan mereka dengan Islamis dan merapatkan barisan AS dengan mereka untuk bersama melawan orang Rusia. Tapi tetap saja, pengalaman pertama Carter dan Reagan dengan Islamis, dan ketidakmampuan mereka berespon efektif terhadap gelombang-gelombang Islamis baru, secara negatif mempengaruhi pandangan Amerika tentang Islam dan Muslim pada umumnya.

Ada kecenderungan kuat dalam lingkaran-lingkaran kebijakan AS yang melihat kelompok Islam Timur Tengah sebagai perkecualian dibanding daerah lain yang mengalami liberalisasi. 50 Para pejabat Amerika mengakui bahwa isu demokrasi di kawasan Arab Timur Tengah berada di urutan bawah dalam skala prioritas pemerintahan Clinton, walaupun banyak pihak yang menyatakan sebaliknya. Sebagian besar pejabat pemerintahan Clinton yang diwawancarai penulis menekankan kekhawatiran mereka akan dampak potensial dari agenda kebijakan luar negeri kaum Islamis, bukan dari politik dalam negeri mereka. Akhir Perang Dingin tidak membawa perubahan radikal dalam sikap AS terhadap kepemimpinan politik di Timur Tengah.

Lahirnya peran global AS setelah Perang Dunia II secara dramatis mengubah sikap-sikap elit kebijakan luar negeri terhadap perubahan politik yang begitu pesat di Dunia Ketiga. Timur Tengah yang pro-Barat, menempati posisi lebih penting dalam agenda kebijakan luar negeri AS dibanding berdamai dengan nasionalisme Dunia Ketiga. Ternyata yang lebih didengar adalah suara para pembuat kebijakan AS yang tidak mempercayai kaum nasionalis Dunia Ketiga dan mencurigai mereka bersekutu dengan Soviet untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa di kawasan itu. Secara keseluruhan, antara tahun 1955 dan 1970, kebijakan AS di dunia Arab disusun untuk melawan nasionalisme Arab sekular yang dipimpin Presiden Mesir, Gamal Abdel-Nasser.

Dalam pertikaian antara Islam dan nasionalisme populis, Amerika berpihak pada Islam. Kebijakan Amerika saat itu didorong oleh pertimbangan-pertimbangan Perang Dingin dan perhitungan strategis, bukan oleh sejarah, budaya, atau ketakutan intrinsik lain ataupun kebencian terhadap Islam. Persepsi AS tentang situasi di Timur Tengah serta sifat dari ancaman tersebut berubah radikal di tahun 1970an, sebagian besar dikarenakan ledakan politik Islam yang menghambur masuk ke dalam percaturan politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun