Mohon tunggu...
Syahid Arsjad
Syahid Arsjad Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Diskusi

penikmat kehidupan penuh warna, suka membaca, diskusi dan menulis. follow di twitter : @syahid_arsjad

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Tetralogi Buru (4) : Rumah Kaca

10 Maret 2013   07:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:02 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada buku ke 4 dari tetralogi buru, pergerakan  Minke dilihat dari sudut pandang seorang pejabat Guberment yaitu Tuan Pangemanann. Pangemanann adalah pribumi Menado yang dibesarkan oleh Eropa totok, mendapat pendidikan barat sampai mengecap pendidikan tinggi di Sorbone perancis. Pangemanann merintis karir sebagai perwira polisi di Hindia. Lewat tangan dinginnya mampu menuntaskan sisa-sisa perlawanan kelompok Pitung terhadap tuan tanah. Karena prestasinya tersebut, maka pangemanann mendapat tugas khusus untuk melumpuhkan ruang gerak Minke yang semakin Kuat.

Sebagai seorang terdidik eropa, pangemanann sangat mengagumi sikap Minke yang rasional dan terpelajar. Nurani intelektual Pangemanann sebenarnya bertentangan dengan tugas yang diberikan, namun karena kepentingan karier maka bisikan hatinya diabaikannya. Pangemanan kemudian memetakan pergerakan Minke, bertemu beberapa kali untuk mengenali sikap dan jalan pikirannya. Sikap minke yang semakin kritis dan dianggap semakin berbahaya, Pangemanann pun didesak untuk segera membungkam Minke. Cara pertama yang dilakukan adalah mengancamnya namun tidak mempan, cara kedua yang dilakukannya adalah mengancam lewat jalur premanisme (non hukum) dengan melakukan penganiayaan terhadap Minke. Ini pun tidak berhasil bahkan premannya tunggang langgang akibat tembakan  istri Minke , princes Kasiruta. Pangemanann kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Minke, namun digagalkannya sendiri karena konflik batin yang terus bergolak dalam dirinya. Cara terakhir yang dilakukannya adalah menangkap dan membuang tokoh SDI ini. Membredel koran hariannya dan menjauhkannya dari organisasinya SDI.

Pasca pembuangan Minke ke Ambon, geliat pergerakan dapat dikendalikan Guberment. Namun murid-murid Minke seperti Wardi dan Marco tetap menggeliat. SDI pun tetap hidup meski seperti kehilangan kendali, H Samadi lebih melihat SDI sebagai kekuatan ekonomi ketimbang sebagai alat perlawanan. SDI kemudian di pimpin oleh Cokro dan mengubahnya menjadi serikat Islam. Namun ditangannya, Serikat Islam yang memiliki anggota yang banyak tak mampu berbuat banyak. Tidak bergerak dibidang pendidikan seperti budi utama akibat pertentangan pandangan tentang kurikulum pesantren atau sekuler. Tidak juga efektif untuk melawan belanda. semua pergerakan ini dipantau oleh Pangemanann lewat lembaga khusus yang didirikan  Guberment, Agleeme secretary.

Semangat berorganisasi masyarakat pribumi semakin menggelora. Para pribumi terpelajar membentuk organisasi profesi menuntut kesejajaran hak dengan warga indo. Pers berbahasa melayu pun bermunculan. Marco, wardi dan para aktivis lainnya semakin berani bersuara menentang guberment. Bahkan telah muncul lagi tokoh perempuan pasca kartini dibungkam lewat perkawinan, siti Sundari. Siti Sundari putri seorang doketer teman Minke yang memiliki semangat tinggi dan melebihi perempuan jamannya menjadi sorotan Pangemanan. Lewat kekuatan struktur, bapak Sundari diminta menikahkan anaknya cepat agar ruang geraknya bisa dibatasi. Sundari menolak dan bapaknya mendukung sikap sundari, mereka memilih meninggalkan Hindia menuju Eropa. Marco dan Wardi pun akhirnya diasingkan ke Eropa. namun bola salju perubahan terus bergulir, embrio nasionalsisme menjadi Bom waktu yang siap meledak.

Bagian yang paling memilukan dari novel ini ketika Minke dipulangkan dari ambon, namun tidak sepenuhnya di bebaskan. Minke dilarang berkomunikasi dengan SI. Dan SI pun tidak mendapat informasi kepulangan Minke.  Hotel, percetakan dan semua assetnya di akuisisi oleh belanda. Bahkan istrinya justru dipulangkan ke Ternate. Teman -teman minke dikontrol oleh Belanda untuk tidak menjalin komunikasi dengan Minke. Bahkan ketika sakit pun tak satupun teman dokternya yang ingin menolong karena takut Belanda. Minke Meninggal sebatang kara dan hanya diantar oleh dua orang temannya menuju pemakaman. Seorang tokoh besar, Mengabdikan seluruh hidup untuk tanah airnya. Meninggal dalam sunyi dan terlupakan oleh bangsanya.

Tokoh Minke tak lain adalah Raden Mas Tirto Adi Suryo, Bapak Pers indonesia, inisiator kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisau: koran dan organisasi. Tirto Adhi Suryo tak banyak dikenal orang indonesia hingga saat ini. Selain Hindia yang mengaburkan perannya dalam sejarah, Orde Baru juga menutupi namanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun