Ini negeri yang luar biasa. Tak ada yang bisa sembarangan mengumbar omongan, berita, atau apapun. Bangsa yang tercerahkan ini tak grasa-grusu dalam menyikapi sebuah persoalan. Biasanya, jika "ada kerikil dalam sepatu", ada tim yang dibentuk. Namanya macam-macam, Tim Gabungan Pencari Fakta, Tim Investigasi, Tim Pencari Kebenaran, Tim ..... sampai the A Team. Anggotanya orang-orang ber-IQ, EQ, ESQ di atas rata-rata. Tim reaktif itu dibentuk agar orang-orang tak berpendidikan, tak punya wawasan, tak banyak membaca, dan tak intelek seperti saya dibukakan mata hati dan pikirannya. Supaya tidak asal prihatin, menggugat, berkomentar, atau malah mogok makan.
Waktu kasus sontekan masal di sebuah SD jadi buah bibir, saya sok pintar ikut berkomentar. Eh, saya salah. Tim investigasi yang kompetensinya tak kalah dari Sherlock Holmes tak menemukan tanda-tanda jawaban yang dimanipulasi. Saya malu sendiri.
Untuk kasus lain juga begitu. Tragedi Mesuji, bencana lumpur di Jawa Timur, Century Gate dan gate-gate yang lain, maupun tragedi dan kasus lain yang akan datang pasti hasilnya lain daripada apa yang saya duga, rasa, dan cerna. Bahkan untuk tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di bumi kelahiran saya (Tragedi Sampit Februari 2001) apa yang disaksikan langsung oleh kami ternyata tak "signifikan" menurut kajian dan tinjauan tim ... lupa saya namanya saking hebatnya.
Jadi, saya sadar diri. Saya tidak akan sok berpendapat, mengeluh, apalagi memprotes suatu wacana yang tengah keras bergema. Saya mesti paham kapasitas intelegensi, emosional dan spiritual saya belum cukup untuk menoleh ke berbagai persoalan raksasa itu. "Syukurlah kalo insyaf," ujar istri menarik nafas lega. "Artinya bisa, nih, gantiin bohlam di dapur yang sudah putus 2 hari yang lalu."
Duh ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H