Mohon tunggu...
Syahid Syukrie
Syahid Syukrie Mohon Tunggu... pegawai negeri -

my formula is amour fati ... not only to bear up under necessity but also to love it.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tidak Ada Guru yang Tidak Profesional

11 Februari 2012   17:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Jengah rasanya membaca tulisan di media cetak tentang tidak atau kurang profesionalnya guru. Malu sendiri melihat ada orang yang dahinya botak (jika botak dianggap sebagai ciri kaum intelek atau jabatan tinggi) yang menyerukan guru agar profesional.

Barangkali ini hanya satu dari sekian banyak gejala verbalisme yang latah menghinggapi kita semua. Sering diutarakan, bahkan di forum ilmiah: "dari data-data yang ada ...." Padahal, data sendiri sudah mengandung makna jamak. Bentuk tunggalnya sendiri (kalau tidak salah ... dan mudah-mudahan tidak) datum. Jadi, frase "data-data" atau "beberapa data" sebenarnya bermakna apa? Contoh lain juga sering kita temui pada bentuk jamak seperti fenomena dan alumni.

Kata lain yang tanpa sadar sering dipakai contohnya kanker ganas. Padahal tidak ada kanker ganas, karena kanker sudah mengandung makna ganas: tumor ganas. Dan ini lagi: guru profesional.

Guru sendiri didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 ayat 1). Dengan demikian, kata sifat "profesional" sudah inklusif dalam kata guru. Adapun label profesional atau tidak hanya bisa disematkan kepada nomina "pendidik".

Mungkin, pembahasan tentang ini dianggap sangat mengada-ada. Tapi, bukankah "bahasa menunjukkan bangsa"? "Hal-hal kecil seperti ini" patut dicermati karena kita tergelincir oleh kerikil yang kecil. Ungkapan yang kita pakai menggambarkan pandangan kita dan pandangan kita membentuk tindakan kita. Dalam contoh ini, misalnya, kompasianer ini seorang guru, karena terlalu sering mendengar frasa "guru tidak profesional" akibatnya tunjangan sertifikasi tidak dibarengi profesionalisme sebagai pendidik (wah, apa hubungannya? Mungkin pernyataan pertama benar, pernyataan kedua benar, namun tidak ada hubungan sebab akibat .... jawabannya B .... :)  )

Karena ini esai bebas (baca: ngawur) kompasianer ini bebas meneruskan contoh. "Pahlawan tanpa tanda jasa" adalah ungkapan yang berbahaya jika dikaitkan dengan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya." Apakah akan besar bangsa ini jika sudah tahu pahlawan malah tanda jasa pun tidak diberikan?

Guru sendiri, yang tengah menikmati tunjangan sertifikasi atau antri menunggu proses sertifikasi, apakah ada yang ingat pencipta Hymne Guru dan nasibnya saat ini? Silakan melakukan refleksi (termasuk yang menulis ini).

O ya, contoh lain yang membuat sepabola Indonesia juga tidak akan pernah maju adalah "penjaga gawang" yang merupakan alih bahasa dari "goal keeper". "Keeper" bisa diartikan penjaga. "Goal" sebaiknya jangan dibatasi pada area tertentu secara fisik (gawang) tapi sebagai berhasilnya bola masuk ke dalam area gawang (baik oleh pemain lawan ataupun pemain dari tim sendiri, sengaja ataupun tidak). Karena kita menggunakan "penjaga gawang" akibatnya, ya itu tadi, gawangnya sehat wal afiat tidak roboh atau lecet catnya karena dijaga secara seksama sedangkan "goal" lolos terus. Nah .....

Sudah dulu postingan usil ini. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun