Mohon tunggu...
Syahid Syukrie
Syahid Syukrie Mohon Tunggu... pegawai negeri -

my formula is amour fati ... not only to bear up under necessity but also to love it.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

TOEFL vs Tolol

5 Januari 2012   16:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 1925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang menteri mewajibkan pegawainya memperoleh skor TOEFL 600. Di era globalisasi ini, bahasa Inggris bukan hanya bahasa internasional. Bahasa ini sudah menjadi bahasa global dilihat dari jumlah pemakai (baik sebagai bahasa pertama atau kedua maupun bahasa asing) di berbagai negara serta lingkup pemanfaatannya. Kompetensi berbahasa Inggris menjadi syarat mutlak dalam percaturan dunia bisnis yang diurusi oleh kementerian tersebut. Apa yang diutarakan itu pastilah berangkat dari niat baik. Apalagi hal itu disabdakan oleh orang yang kapasitas intelektual dan profesionalismenya jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Jadi, wajib didukung penuh.

TOEFL, tes yang mengukur kemampuan sesorang untuk menggunakan dan memahami Bahasa Inggris dalam lingkungan akademik, bukan makhluk aneh lagi. Mau masuk atau keluar beberapa universitas di di ibu pertiwi ibu Nunun inipun perlu skor TOEFL tertentu. Memohon beasiswa dalam dan luar negeri apalagi. Jadi, TOEFL sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan akademik (atau status?) kita.

Hanya saja, frase “Skor TOEFL 600” sangat terasa aneh. TOEFL yang mana? Jika TOEFL yang dimaksud adalah merk terdaftar Educational Testing Service (ETS), rasanya, tidak mungkin. Sejak 2006, TOEFL berbasis kertas (TOEFL PBT) tidak lagi dilaksanakan di negera kita. Bahkan, skor TOEFL berbasis komputer (CBT) pun tidak dianggap valid.

Artinya, skor 600 itu adalah skor TOEFL “antah berantah” karena skor TOEFL Internet-based Test (iBT) yang dilaksanakan di Indonesia dan seluruh lokasi tes TOEFL iBT maksimum hanya 120 poin. Skor 600 hanya bisa dicapai dalam format TOEFL PBT dengan skor berkisar antara 310 sampai 677. Nah, jika ETS tidak lagi menyelenggarakan TOEFL PBT di tanah tumpah darah Gayus Tambunan ini lantas lembaga mana yang menyelenggarakan TOEFL dengan skor seperti itu? Jangan-jangan … jangan-jangan.

Seperti biasa, kita kerap gagap dengan status dan standar internasional. Gagap dalam makna kemampuan kita masih jauh dari acuan berkelas dunia. Tapi, segagap-gagapnya kita, akal kancil kita masih bisa memikirkan solusi instan artifisial. Skill bahasa Inggris kita tak perlu nyantol, tapi sertifikat dapat kita gondol. Walhasil?

Ketikkan “sertifikat TOEFL®” di google, dalam waktu 0:15 detik akan muncul 1.240.000 entri. Pada halaman pertama malah ada penawaran sertifikat TOEFL® langsung jadi. Tanpa perlu ikut pelatihan seperti yang dicanangkan Bapak Menteri dan tes segala macam. Biayanya terjangkau. Asyiknya, pemesanan luar pulau dilayani. Ruarrr biasa.

Kesimpulannya, target skor TOEFL yang 600 bagi jajaran pegawai di kementerian itu pasti tercapai. Hanya saja, seperti biasa, dalam bentuk sertifikat dari institusi abal-abal sementara kompetensi yang diharapkan masih jauh dari standar.

Dengan “sertifikat TOEFL” itu, pemegang skor 600 yang dalam kenyataan sehari-hari tidak lancar berbicara bahasa Inggris dalam konteks kehidupan sehari-hari (apalagi dalam konteks akademis) bisa berkelit dengan mengatakan bahasa Inggrisnya tergolong pasif. “Lho, ini buktinya. Skor saya 600. Tidak main-main ini,” tangkis pemegang sertifikat bertulisan skor TOEFL 600.

Padahal, TOEFL iBT merupakan refleksi trend dan metodologi terkini dalam hal keterampilan berbahasa Inggris. Dewan Penguji TOEFL, terdiri 12 orang pakar linguistik, tes, pembelajaran atau riset bahasa, memastikan bahwa TOEFL tersebut merupakan pengukuran kemahiran berbahasa Inggris yang valid. TOEFL baru ini memang sulit dipalsukan karena langsung menguji empat keterampilan berbahasa: Reading, Listening, Speaking, dan Writing. Tes dengan durasi 4 jam ini terdiri dari 4 bagian. Masing-masinhg mengukur salah satu dari empat keterampilan tersebut di atas. Ada juga beberapa soal di mana peserta harus mengintergrasikan beberapa keterampilan sekaligus. Semua soal terfokus pada pemakaian bahasa Inggris dalam lingkungan akademik level perguruan tinggi. Jadi, jika kita saat ini menemukan orang memiliki TOEFL 300 (sekalipun!) kita harus “sungkem” akan keluarbiasaannyaberbahasa Inggris dalam lingkungan kampus di negara adi daya sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun