Mohon tunggu...
Syahar Banu
Syahar Banu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Falsafah dan Agama Universitas Paramadina | Bisa dijumpai juga di syaharbanu.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meluruskan Prasangka Tradisi di Hari Asyura

15 November 2013   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:08 4040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13844880451388830706

Hari ini, 10 Muharram, puluhan juta Muslim dari Mahzab Syiah berkumpul khususnya di dua tempat yang menjadi tumpuan mereka yaitu, di Karbala dan di Najaf. Karbala adalah merupakan tempat dimana gugurnya Imam Hussein (ca. 680 M) ketika dihadang dan dibantai oleh pasukan Umar bin Saad. Peristiwa ini adalah akibat perintah Ubaidillah ibnu Ziyad, Gubernur Kufah yang menjalankan perintah Yazid bin Muawiyah. Adapun di Najaf merupakan tempat Ali bin Abi Thalib (ca. 661 M) ditebas pedang Ibnu Muljam sehingga gugur syahid. Namun telah lama, peringatan Asyura selalu dituding oleh sebagian kalangan sebagai bid’ah dan Sesat. Sedangkan peringatan Asyura bukanlah ritual peribadatan. Asyura menurut Syiah sama halnya dengan peringatan Maulid dan Isra Mikraj. Dalam tradisi Syiah, peringatan bukan saja pada Hari Maulid Rasulullah, namun juga pada hari wafat Rasulullah. Begitu pula halnya dengan Hari kelahiran (Milad) dan Hari Wafat (Haul) para Ahlulbait dan 12 Imam. Hal ini dilakukan semata-mata ikhtiar untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah. Seperti seorang anak yang memperingati hari kelahiran dan meninggalnya kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Dan juga peringatan Ghaidir Khum, hari pengangkatan Ali bin Abi Thalib, sebagai Khalifatul-Rasul bukanlah ritual ibadah. Asyura sederajat dalan Maulid Rasulullah, sebab Maulid juga bukan merupakan ritual ibadah, tapi peringatan. Disinilah letak melihat perbedaan antara Ibadah, yang mempunyai rukun dan dalil, peringatan yang merupakan tradisi dan emosi. Apabila kalangan Muslim telah bersepakat, Isra Mi’raj dan Maulid bukanlah ibadah namum sekedar peringatan. Maka begitu pula Asyura yang juga hanya sekedar peringatan. Menghadiri peringatan Asyura bukanlah ibadah, namun adalah ekspresi kecintaan kepada Rasulullah saaw. Sebab mencintai Ahlulbait Rasulullah adalah amanat dan wasiat Rasulullah saat beliau menjelang wafat. وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي “dan Ahlulbait-ku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlubaitku”. Sengaja penulis bawakan sumber dari kalangan Syiah sendiri supaya kita semua bersikap adil terhadap sesuatu perkara. Jika hanya mengambil sekadar dari pandangan orang luar, apalagi dari musuh-musuh Syiah, justru akan menyebabkan kesalahpahaman. Tentang Asyura dan Azadari Dalam tradisi Syiah, peringatan Asyura diisi dengan acara duka cita (takziah). Biasanya dengan pembacaan Maqtam (riwayat) dan Maqtal (kesedihan) yang semua dirangkum dalam Azdari. Makna Azadari adalah acara berkabung yang dilakukan oleh Muslim Syiah untuk memperingati syahidnya Rasulullah saaw dan para Imam suci. Khusus dalam Asyura, merupakan momentum kebangkitan Imam Hussein yang menjadi pesan pada seluruh bangsa dan manusia tanpa dibataskan oleh masa dan waktu. Dalil peringatan Azadari merupakan wasiat Ahlulbait yang dipegang oleh Muslim Syiah. Hal ini berdasarkan sumber mereka yang diriwayatkan oleh Imam Jakfar al-Sadiq (ca. 765 M) di dalam kitab Bihar al-Anwar berkata : “Allah akan merahmati Syiah kami. Demi Allah Syiah adalah mukmin. Mereka (Syiah) telah bersumpah demi Allah dengan kesedihan yang berpanjangan semata-mata untuk ikut merasakan musibah yang kami ( Ahlulbait) derita.” Imam Jakfar juga bertanya kepada Fudhail, salah seorang pengikut setianya, “Apakah kalian menghidupkan majlis Aza (Azdari) dan menceritakan apa yang terjadi kepada Ahlulbait? Fudhail menjawab, Ya. kami melakukannya. Imam Jafar al-Sadiq seterusnya berkata, Aku suka kepada majelis seperti ini. Hidupkanlah urusan kami. Barang siapa yang menghidupkan urusan kami maka dia akan mendapat rahmat Allah. Wahai Fudhail, Sesiapa saja yang mengingati kami atau berada dekat dengan seseorang yang dapat membuatkannya mengingati kami dan menitiskan air mata walaupun menitiskan airmata sekadar ukuran sayap lalat sekalipun, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak air dilautan.” Dalam sumber yang sama, Imam Ali al-Ridha (ca 818 M) berkata, “Barangsiapa yang mengingatkan tentang musibah yang diderita dan ditangisi oleh kami di atas kezaliman yang menimpa kami, niscaya di hari kiamat kelak dia akan bersama kam dan sedarjat dengan kami. Sementara siapa yang menceritakan tentang musibah kami sehinggakan dia sendiri menangis dan membuat orang lain menangis dengan ceritanya itu, maka pada hari Kiamat ketika semua mata manusia menangis, dia tidak akan menangis. Barangsiapa yang menghidupkan urusan kami niscaya pada hari kiamat ketika semua hatinya mati, hatinya tidak akan mati.” Jelasnya, Azdari menurut Syiah adalah suatu yang dibenarkan. Namun sayangnya semasa proses perjalanan sejarah dan penyebaran mazhab ini telah bercampur dengan adat dan tradisi etnik dan bangsa lain. Hal ini menyebabkan menjadi satu halangan besar kepada yang lain demi memahami arti dan hakikat Asyura yang sebenar. Soal Melukai Tubuh Qameh adalah sebuah senjata yang mirip pedang namun bentuknya lebih pendek dan lebih lebar. Bentuk qameh lurus sementara orang yang memakai senjata ini pada hari Asyura untuk melukakan kepalanya dan orang lain disebut Qameh Zan. Tradisi ini pula dinamakan sebagai Qameh Zani. Ini adalah istilah yang dipakai oleh bangsa Parsi adapun di dalam bahasa Arab disebut al-Tathbir. Bagi mereka yang akan melakukan Qameh Zani pada pagi Asyura, pada malamnya mereka telah mengasah dan menajamkan qamehnya. Dalam acara ini, mereka akan mengikuti kursus (raptai) terlebih dahulu yang dinamakan Masyq Qameh. Setelah menunaikan solat subuh hari Asyura mereka akan keluar tanpa memakai penutup kepala atau alas kaki akan tetapi mereka mengenakan kain kafan sambil memegang qameh. Pada mata qameh itu akan dipukulkan ke atas kepada mereka sambil membaca puisi duka (maqtal). Qameh dipimpin oleh Guru (ketua) Qameh Zan akan memulaik acara ini dengan mengayunkan qameh dua hingga tiga kali ke kepala para Qameh Zani (peserta) sehingga bercucuran darah dari kepala mereka. Setelah itu qameh itu akan diusapkan dikepala sambil mengatakan “Ya Hussein” berulang kali. Dan setelah acara itu selesai, luka-luka itupun hilang tanpa bekas. Dalam penelitian sejarah hampir dapat dipastikan Qameh Zani berawal dari tradisi penduduk Kota Kufah setelah peristiwa Karbala dan pemberontakan Mukhtar At-Tsaqafi. Inilah ekspresi anak-anak keturunan penduduk Kufah yang membiarkan rombongan Imam Husain as dibantai di Karbala. Ekspresi penyesalan yang teramat sangat. Sementara di Persia tradisi Qameh Zani tidak ada sampai awal masa Dinasti Safavid (1501-1722), dan masih belum jelas pula, apakah acara menyiksa diri ini bemula pada dinasti ini atau sewaktu Dinasti Qajar (1794-1925). Sebahagian ahli sejarah menyakini bahwa Qameh Zani ini wujud di zaman Safavid bahkan dikatakan dinasti ini yang mendalilkannya. Pada hari Asyura, penguasa Dinasti Safavid memerintahkan pasukan elitnya yang terkenal dengan nama Fedayeen Qazalbash supaya melakukan upacara ini. Seorang ahli sejarah, Nasrallah Falsafi di dalam bukunya, Tarikh Shah Abbas Kabir (Sejarah Abbas Kabir) yang merupakan salah satu buku sejarah lengkap yang menjelaskan mengenai Fedayeen Qazalbash, menyatakan : “Fedayeen Qazalbash yang senantiasa tidak menutup kepala sebagai simbol kesetiaan pada Hari Asyura. Mereka keluar sambil membawa pedang. Mereka berfikir apa yang dilakukan ini adalah sebagai bentuk satu kesatuan dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat Imam Hussein as. Pada hari ini Imam Hussein as dipanah dan oleh karenanya mereka juga harus mencipta situasi yang sama terhadap diri mereka. yaitu dengan menunjukkan diri mereka sebagai orang yang sanggup berkorban demi Imam Hussein as. Dan inilah yang dikatakan sebagai permulaan Qameh Zani.” Menurut Yousuf Qaravi di dalam buku Tarikh Negari Asyura Thrifat-e-An menyatakan, “Ada kemungkinan tindakan ini. Qameh zani, pertama kalinya dilakukan oleh para sufi dan murid-murid para Darwis, sebagaimana ditulis oleh Pietro Della Valle, seorang pengembara di masa Syah Abbas I. Menurutnya, Kebanyakan para sufi dan Darwish di tempat-tempat tersebut mengubur diri mereka sehingga keseluruh badan, sampai sebagian kepala mereka dalam tanah liat yang telah dibakar, seolah-olah mereka itu dilihat benar-benar dikuburkan. Mereka bertahan di dalam situasi sedemikian dari terbit hingga terbenamnya matahari. Sebahagian yang lain berkumpul di tengah-tengah kota atau di hadapan rumah masyarakat dengan tidak memakai alas kaki dan pakaian kecuali kain hitam untuk menutupi aurat mereka. Mereka melumuri seluruh badan sehingga kaki mereka dengan sejenis bahan yang menghitamkan dan mengkilat. Mereka itu diikuti oleh sejumlah orang yang berpenampilan sama namun seluruh badannya diwarnakan dengan warna merah. Warna merah ini sebagai simbol darah. Semua tindakan ini dilakukan untuk menunjukkan rasa sedih mereka di atas musibah yang menimpa Imam Husein as.” Adapun sumber yang lain pula menduga bahwa Qameh Zani ini diamalkan ketika dinasti Qajar. Berkaitan dengan hal ini, Sejarawan Persia yang bernama Rasul Jafarian menyatakan, “Banyak persoalan mengenai kapan pertama kalinya Qameh Zani dan Sinen Zani (memukul dada). Bagi persoalan ini terdapat dua hingga tiga kemungkinan, namun fakta yang paling tepat yang berkaitan dengan hal ini menyebut bahwa ia berasal dari India. Golongan Syiah pada zaman Dinasti Safavid telah tersebar luas ke India dan seiring dengan perluasan pelabuhan Bushehr dan Shiraz yang mana turut terkena pengaruhnya.” Hal yang sama juga terjadi di Lubnan. Ada segelintir dari ulama yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah orang Parsi tiba di Kota Nabatieh. Mereka mempunyai cara tersendiri (qameh) di dalam memperingati hari Asyura yang seharusnya dicegah. Walaupun Azdari adalah ajaran dari para Imam mereka namun bentuk Azdari yang dilakukan adalah sebaliknya. Sistem Sineh Zani, Zanjir Zani (memukul pinggul dengan rantai) dan Qameh Zani tidak terdapat di dalam teks-teks administrasi Dinasti Safavid. Azdari dilakukan secara persendirian di rumah masing-masing. Apabila mencermati tiga pandangan di atas, nampaknya dapatlah disimpulkan Azdari berakar sejak Dinasti Safavid tetapi tidak dilakukan sepertimana pada hari ini yang telah mengadaptasikan dengan upacara Sufi dan Darwish. Dalam sebuah pernyataan dari Auliya Chalapi, sewaktu zaman Syah Safi mengenai masyarakat Tabriz yang ketika itu menjadi pusat pengumpulan para Sufi (yang menyimpang) dan Darwish, menguatkan fakta di atas. Jika dilihat pada buku Iranian va Azadari Ashoura (rakyat Iran dan Azadari Asyura) menyebutkan, “Ketika pembaca kisah Asyura sampai pada bahagian pembantaian Imam Husein as yang dilakukan oleh Syimr bin Al-Jausyan, ketika itu orang ramai akan mengeluarkan gambar jasad anak-anak Imam yang terbunuh dari kemah syuhada. Mereka yang menyaksikan pemandangan memilukan ini lantas berteriak Wahai Husein dan semua yang hadir menangis. Setelah itu ratusan orang yang hadir mengeluarkan pedang dan qameh lalu melukakan kepala, wajah dan badan mereka.” Argumentasi Pihak yang Melakukan Qameh Zani Para pelaku Qameh Zan (mayoritasnya kalangan Ismailiyyah atau Ghulat, DAN BUKAN dari Imamiyah) ini berhujahkan dengan riwayat meragukan tentang Sayyidah Zainab binti Ali (adik Imam Husain, anak Imam Ali dari Sayidah Fathimah Az-Zahra) hentakkan kepala ke kayu sehingga berdarah. Mereka yang melakukan Qameh Zani ini menyandarkan perbuatan ini dengan sebuah hujjah yang tidak dapat dipercayai. 1. Menurut mereka, Jika Qameh Zani dan melukakan kepala pada hari Asyura tidak dibenarkan, maka mengapa Sayyidah Zainab menghentakkan kepalanya ke kayu sedekup (tempat duduk) di atas unta sehingga berdarah? Dalam hal ini kita perlu melihat kepada dua perkara. Pertamanya, Sayyidah Zainab telah dididik dalam lingkungan wahyu yang tidak mungkin melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh Allah. Kedua, Imam Ali Zainal Abidin sentiasa Sayyidah Zainab dan beliau menyaksikan apa yang dilakukan oleh ibu saudaranya. Jika perbuatan itu jelas bertentangan, niscaya beliau akan melarangnya. Jika tidak dilarang maka beliau telah menunjukkan taqrir Imam itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Abbas Al-Qummi, pengarang buku Mafatih al-Jinan menjelaskan, “Sukar untuk menerima hujjah yang mengatakan Sayyidah Zainab AS melukai kepalanya. Ini karena beliau merupakan wanita yang mendapat gelaran wanita berakal Bani Hasyim (Aqilah Bani Hasyim) dan memiliki derajat Ridha dan Taslim (rela dan berserah diri).” Seorang ulama Syiah, Ayatullah Mirza Muhammad Arbab telah menyebutkan beberapa hujjah kepalsuan riwayat tersebut. Antaranya, riwayat tersebut tidak dinyatakan pada mana-mana kitab hadith yang muktabar, riwayat itu tidak memiliki sanad. Perkara ini sendiri bertentangan dengan pribadi Sayyidah Zainab yang merupakan seorang yang pasrah kepada Allah. 2. Untuk memperingati penderitaan Imam Hussein Hujjah mereka yang menyatakan bahawa apa yang mereka lakukan itu adalah merupakan usaha untuk memperingati musibah yang menimpa Imam Hussein, keluarga dan para sahabatnya. Ini karena, melukai diri itu adalah sebagian dari peringatan pada hari Asyura dan merupakan syiar Ilahi. Maka perbuatan melukai diri ini dikira sebagai menghidupkan syiar Allah bahkan sunnah hukumnya. Pertamanya perlu kita ketahui bahawa setiap perbuatan memiliki definisi dan batasanya. Apabila kita ingin memasukkan sebuah perbuatan itu ke dalam syariat Islam, sudah pastinya kita perlu merujuk kepada Allah dan Rasulnya akan hal itu. Apakah Allah sebagai pembuat syariat telah menetapkannya atau tidak? Di sini peringatan Asyura Imam Hussein juga perlu dilaksanakan berasaskan ketentuan yang telah digariskan. Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini di dalam bukunya Kasyf al-Asrar menyatakan, “Saya juga perlu mengatakan sesuatu yang khusus terhadap acara dan majelis yang dilakukan di atas nama Imam Hussein AS. Kita sebagai orang yang beragama tidak pernah mengatakan bahwa boleh melakukan semua perbuatan. Betapa banyak para ulama muktabar dan para sarjana menyebut perbuatan ini (Qameh Zani) sebagai perbuatan BATHIL, dan berusaha untuk mencegah perbuatan tersebut. Di sini perlu dinyatakan bahwa persoalan Qameh Zani ini tidak ada satu riwayat atau perbuatan seperti itu itu boleh dikategorikan sebagai sebagian dari peringatan Asyura.” Dalam Kitab Wasail al-Syiah, Bab Makruh Berteriak Akibat Duka Cita dan Meratap, Jabir bin Abdullah al-Ansari menyatakan, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir as mengenai sikap tidak sabar. Imam kemudianya menjawab, Tingkat utama dari ketidaksabararan itu adalah berteriak sambil berkata Hoi, memukul wajah, dada dan mencabut rambut yang ada di hadapan kepala. Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk membacakan nyanyian berkabung beerti dia telah kehilangan kesabarannya dan tidak tergolong dari golongan yang sabar.” 3. Menghidupkan Islam Alasan mereka yang ketiga adalah untuk menghidupkan mazhab dan fahaman mereka. Bagi mereka yang pro kepada Qameh Zani mendakwa dengan perbuatan ini mereka dapat menarik orang lain untuk menerima paham mereka. Sayyid Hassan Shirazi menyangkal Hujjah ini di dalam bukunya al-Syair al-Husseiniyyah yang menyatakan, “Apabila ada pembahasan mengenai perjuangan melawan perkara yang haram demi melindungi Islam, maka mengapa tidak berjuang melawan hal-hal haram yang lain? Hujah pelaksanaan Qameh Zani sebagai cara untuk menghidupkan Islam adalah amat bathil. Bahkan perbuatan Qameh Zani ini jelas boleh melemahkan Islam dengan menunjukkan gambaran yang buruk kepada non-Muslim dan sebahagian Muslim yang lain." Allamah Sayyid Muhsin Amin pula menyatakan, “Apabila dikatakan perbuatan ini merupakan sebahagian dari Islam, mengapakah Qameh Zani dilakukan sementara hal itu menyebabkan titik hitam bagi Islam dan penganutnya? Perbuatan ini hanya akan membuat masyarakat membenci dan muak dengan agama.” Imam Khomeini sendiri menyatakan, masih dalam Kitab Kasyf al-Asrar “Kalian ingin melakukan pekerjaan demi Allah. Sedangkan pekerjaan yang kalian lakukan malah merugikan Islam. Oleh karena itu lebih baik jika kalian tidak melakukannya. Contohnya adalah Qameh Zani yang menyebakan Islam lemah, namun tradisi Azadari masih boleh kalian lakukan dengan cara yang baik. Adapun di sana ucapan-ucapan mereka yang masih mahu mengharuskan Qameh Zani dengan menyatakan, Kami melakukan perbuatan ini kerana mengingati musibah yang menimpa Imam Hussein. Disebabkan terlalu kuatnya rasa sedih kami membuatkan kami menjadi seolah-olah tidak waras. Pernyataan tersebut adalah pernyataan orang tak berakal. Apakah status mereka ini lebih tinggi dari para Imam ? Bukankah para Imam begitu patut di dalam melaksanakan perintah Allah? Bahkan Imam Hussein AS di dalam Kitab al-Luhuf menyebutkan, pada malam Asyura beliau berkata kepada Sayyidinah Zainab agar tidak berteriak apatah lagi merobek-robek pakaian. Mereka yang melakukan Qameh Zani seharusnya mengetahui bahwa peristiwa Asyura bukanlah kebangkitan untuk mendidik orang gila lalu mengetengahkannnya kedalam masyarakat. Kebangkitan Asyura mempunyai tujuan agung dan mulia. Imam Hussein AS sendiri mengajarkan kebebasan dan kemuliaan di dalam menjalani kehidupan.” Qameh Zani Adalah Haram 1. Qameh Zani adalah bid’ah Bidah sebagaimana diketahui memiliki dua makna, bahasa dan istilah. Dari sudut bahasa bidah bererti perbuatan baru, sementara dalam istilah bidah adalah menambahkan masalah atau hukum baru ke dalam agama apalagi jika berkaitan dengan ibadat seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal dan Qameh Zani adalah termasuk bidah samada dari sudut bahasa maupun istilah. Dari sudut bahasa, setiap perbuatan baru yang belum terbukti apakah ia termasuk agama atau bukan, jika kelihatannya dapat melemahkan agama, maka dapat dipastikan melakukan perbuatan tersebut adalah haram hukumnya. Qameh Zani juga merupakan perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam, bahkan di masa para Imam atau abad-abad yang masih berdekatan dengan masa hidup mereka. Berkaitan dengan masalah ini al-Syahid Muthahhari dalam buku Jazebah va Dafeah Ali as mengatakan, “Qameh Zani, mengangkat gendang dan terompet adalah budaya Kristen Ortodoks kawasan Kaukasus yang berkembang ke Iran. Disebabkan segelintir pikiran sekelompok dari masyarakat Iran terpengaruh dengan perkara ini, ia seterusnya tersebar di kalangan masyarakat Iran.” Bahkan dengan tegas al-Syahid Muthahhari menjelaskan, “Melukai badan dengan pisau, memukul badan dengan rantai, memukul gendang dan meniup terompet sehingga kini masih dilakukan oleh para penganut Kristian Ortodoks apabila memperingati kematian Isa al-Masih. Pada sudut istilah, secara umumnya apabila seseorang itu melakukan perbuatan yang tidak ada nash (dalil) akan kewajiban atau sunnahnya lalu hal tersebut dilaku dengan keyakinan bahwa hal tersebut adalah wajib atau sunnah maka untuk itu jatuh hukum haram.” Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomeini di dalam Kitab Anwar al-Hidayah (Kitab Usul Fiqh) menyatakan, “Pensyariatan berarti memasukan sesuatu yang bukan agama ke dalam agama adalah sama dengan bidah. Mereka yang melakukan Qameh Zani dengan berniatkan ibadah namun apa yang mereka lakukan tidak mempunyai kaitan dengan agama.” Allamah Sayyid Muhsin Amin di dalam buku al-Tanzih menulis, “Dosa besar apabila manusia yang melakukan perbuatan bidah lalu menyebutkannya sebagai sunnah atau perkara sunnah digambarkan sebagai perbuatan bidah. Banyak hal-hal yang dilarang di dalam upara mengingati Hussein as, seperti berbohong, menyiksa diri, teriakan wanita, menjerit dan lainnya dilakukan atas nama agama namun hal tersebut justru menjatuhkan kehormatan agama itu sendiri.” 2. Citra Buruk Agama Ungkapan melemahkan agama yang dipakai oleh para ulama dalam mendedahkan asal-usul Qameh Zani mempunyai arti apabila seseorang melaksanakan sebuah perbuatan dalam acara Asyura Imam Husein as, dan orang lain melihatnya dan menuduh mazhab Syiah penyebar kekerasan, buas dan khurafat. Jelas perbuatan ini tentu saja melemahkan agama dan membuat manusia menjauhinya. Ini merupakan dalil terpenting terkait haramnya perbuatan Qameh Zani dalam memperingati syahadah Imam Husein AS di hari Asyura. Pada hari ini, terlalu banyak jaringan internet, television dan media anti-Islam di dunia berusaha memburuk-burukan Islam dengan menunjukkan tanyangan mengenai Qameh Zani yang dilakukan oleh sebahagian negara terutamanya di Pakistan. Niat mereka agar Islam itu dipandang sebagai ekstrim dan buas. Malah sebagian mereka memproduksikan foto-foto pelaku qameh dan menyandarkannya sebagai syiar di dalam mazhab Syiah. Perkara ini sendiri pernah disampaikan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khameini, Pemimpin Spiritual Republik Islam Iran 12 tahun lalu ketika beliau melawat masyarakat Mashad. Ujar beliau, “Tatkala Komunis menguasa Azerbaijan pada zaman Uni Soviet, mereka berusaha memusnahkan segala warisan Islam. Mereka menjadikan masjid sebagai gudang sehingga tidak ada kesan-kesan mengenai Islam dan Syiah. Hanya satu perkara yang mereka membenarkan iaitu Qameh Zani. Para pemimpin Komunis memerintahkan rezim mereka agar tidak membiarkan orang-orang Islam melakukan solat berjamaah dan membaca al-Quran namun mereka membenarkan mereka melakukan Qameh Zani. Karena Qameh Zani bagi mereka adalah alat propaganda anti agama dan mahzab Syiah.” Secara kesimpulannya, perbuatan mencederakan diri ini bukanlah dari ajaran Islam maupun di dalam mazhab-mazhab lain. Hal itu hanyalah diadaptasikan dari perbuatan golongan yang sesat lagi menyimpang oleh golongan yang jahil lalu dijadikan sebagai amalan ketika 10 Asyura. Dalam hal ini penulis ingin menegaskan konsep mencederakan diri ini tidak pernah dan tidak akan dilakukan oleh SYIAH di INDONESIA karena Mahzab Syiah yang berkembang di Indonesia mayoritas adalah Mahzab Itsna Asyariyah yang mengharamkan Qameh Zani dilakukan dengan alasan apapun. Dan propaganda selama ini dari kalangan takfiri (mereka yang begitu mudah mengkafirkan muslim) jelas tidak berdasar dan merupakan over-generalisir. Syiah merupakan Mahzab tertua dalam Islam dan telah melewati 1400 tahun penganiayaan dan pembantaian. Tidak akan musnah dengan fitnah-fitnah murahan kaum Takfiri. Keterangan dan Ucapan Terimakasih Tulisan awalnya berupa catatan di Facebook pada tahun 2009. Pada 14 November 2013 dimuat kembali di Kompasiana melalui akun Reza Syariati pada jam 08:15 dengan url http://sejarah.kompasiana.com/2013/11/14/tentang-tuduhan-melukai-diri-di-hari-asyura-607745.html , namun dua jam kemudian diremove oleh Admin Kompasiana. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada @pradewitch di https://twitter.com/pradewitch yang telah membantu penulis mendapatkan cache tulisan ini setelah diremove dari Kompasiana.Hari ini, 10 Muharram, puluhan juta Muslim dari Mahzab Syiah berkumpul khususnya di dua tempat yang menjadi tumpuan mereka yaitu, di Karbala dan di Najaf. Karbala adalah merupakan tempat dimana gugurnya Imam Hussein (ca. 680 M) ketika dihadang dan dibantai oleh pasukan Umar bin Saad. Peristiwa ini adalah akibat perintah Ubaidillah ibnu Ziyad, Gubernur Kufah yang menjalankan perintah Yazid bin Muawiyah. Adapun di Najaf merupakan tempat Ali bin Abi Thalib (ca. 661 M) ditebas pedang Ibnu Muljam sehingga gugur syahid. Namun telah lama, peringatan Asyura selalu dituding oleh sebagian kalangan sebagai bid’ah dan Sesat. Sedangkan peringatan Asyura bukanlah ritual peribadatan. Asyura menurut Syiah sama halnya dengan peringatan Maulid dan Isra Mikraj. Dalam tradisi Syiah, peringatan bukan saja pada Hari Maulid Rasulullah, namun juga pada hari wafat Rasulullah. Begitu pula halnya dengan Hari kelahiran (Milad) dan Hari Wafat (Haul) para Ahlulbait dan 12 Imam. Hal ini dilakukan semata-mata ikhtiar untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah. Seperti seorang anak yang memperingati hari kelahiran dan meninggalnya kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Dan juga peringatan Ghaidir Khum, hari pengangkatan Ali bin Abi Thalib, sebagai Khalifatul-Rasul bukanlah ritual ibadah. Asyura sederajat dalan Maulid Rasulullah, sebab Maulid juga bukan merupakan ritual ibadah, tapi peringatan. Disinilah letak melihat perbedaan antara Ibadah, yang mempunyai rukun dan dalil, peringatan yang merupakan tradisi dan emosi. Apabila kalangan Muslim telah bersepakat, Isra Mi’raj dan Maulid bukanlah ibadah namum sekedar peringatan. Maka begitu pula Asyura yang juga hanya sekedar peringatan. Menghadiri peringatan Asyura bukanlah ibadah, namun adalah ekspresi kecintaan kepada Rasulullah saaw. Sebab mencintai Ahlulbait Rasulullah adalah amanat dan wasiat Rasulullah saat beliau menjelang wafat. وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي “dan Ahlulbait-ku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlubaitku”. Sengaja penulis bawakan sumber dari kalangan Syiah sendiri supaya kita semua bersikap adil terhadap sesuatu perkara. Jika hanya mengambil sekadar dari pandangan orang luar, apalagi dari musuh-musuh Syiah, justru akan menyebabkan kesalahpahaman. Tentang Asyura dan Azadari Dalam tradisi Syiah, peringatan Asyura diisi dengan acara duka cita (takziah). Biasanya dengan pembacaan Maqtam (riwayat) dan Maqtal (kesedihan) yang semua dirangkum dalam Azdari. Makna Azadari adalah acara berkabung yang dilakukan oleh Muslim Syiah untuk memperingati syahidnya Rasulullah saaw dan para Imam suci. Khusus dalam Asyura, merupakan momentum kebangkitan Imam Hussein yang menjadi pesan pada seluruh bangsa dan manusia tanpa dibataskan oleh masa dan waktu. Dalil peringatan Azadari merupakan wasiat Ahlulbait yang dipegang oleh Muslim Syiah. Hal ini berdasarkan sumber mereka yang diriwayatkan oleh Imam Jakfar al-Sadiq (ca. 765 M) di dalam kitab Bihar al-Anwar berkata : “Allah akan merahmati Syiah kami. Demi Allah Syiah adalah mukmin. Mereka (Syiah) telah bersumpah demi Allah dengan kesedihan yang berpanjangan semata-mata untuk ikut merasakan musibah yang kami ( Ahlulbait) derita.” Imam Jakfar juga bertanya kepada Fudhail, salah seorang pengikut setianya, “Apakah kalian menghidupkan majlis Aza (Azdari) dan menceritakan apa yang terjadi kepada Ahlulbait? Fudhail menjawab, Ya. kami melakukannya. Imam Jafar al-Sadiq seterusnya berkata, Aku suka kepada majelis seperti ini. Hidupkanlah urusan kami. Barang siapa yang menghidupkan urusan kami maka dia akan mendapat rahmat Allah. Wahai Fudhail, Sesiapa saja yang mengingati kami atau berada dekat dengan seseorang yang dapat membuatkannya mengingati kami dan menitiskan air mata walaupun menitiskan airmata sekadar ukuran sayap lalat sekalipun, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak air dilautan.” Dalam sumber yang sama, Imam Ali al-Ridha (ca 818 M) berkata, “Barangsiapa yang mengingatkan tentang musibah yang diderita dan ditangisi oleh kami di atas kezaliman yang menimpa kami, niscaya di hari kiamat kelak dia akan bersama kam dan sedarjat dengan kami. Sementara siapa yang menceritakan tentang musibah kami sehinggakan dia sendiri menangis dan membuat orang lain menangis dengan ceritanya itu, maka pada hari Kiamat ketika semua mata manusia menangis, dia tidak akan menangis. Barangsiapa yang menghidupkan urusan kami niscaya pada hari kiamat ketika semua hatinya mati, hatinya tidak akan mati.” Jelasnya, Azdari menurut Syiah adalah suatu yang dibenarkan. Namun sayangnya semasa proses perjalanan sejarah dan penyebaran mazhab ini telah bercampur dengan adat dan tradisi etnik dan bangsa lain. Hal ini menyebabkan menjadi satu halangan besar kepada yang lain demi memahami arti dan hakikat Asyura yang sebenar. Soal Melukai Tubuh Qameh adalah sebuah senjata yang mirip pedang namun bentuknya lebih pendek dan lebih lebar. Bentuk qameh lurus sementara orang yang memakai senjata ini pada hari Asyura untuk melukakan kepalanya dan orang lain disebut Qameh Zan. Tradisi ini pula dinamakan sebagai Qameh Zani. Ini adalah istilah yang dipakai oleh bangsa Parsi adapun di dalam bahasa Arab disebut al-Tathbir. Bagi mereka yang akan melakukan Qameh Zani pada pagi Asyura, pada malamnya mereka telah mengasah dan menajamkan qamehnya. Dalam acara ini, mereka akan mengikuti kursus (raptai) terlebih dahulu yang dinamakan Masyq Qameh. Setelah menunaikan solat subuh hari Asyura mereka akan keluar tanpa memakai penutup kepala atau alas kaki akan tetapi mereka mengenakan kain kafan sambil memegang qameh. Pada mata qameh itu akan dipukulkan ke atas kepada mereka sambil membaca puisi duka (maqtal). Qameh dipimpin oleh Guru (ketua) Qameh Zan akan memulaik acara ini dengan mengayunkan qameh dua hingga tiga kali ke kepala para Qameh Zani (peserta) sehingga bercucuran darah dari kepala mereka. Setelah itu qameh itu akan diusapkan dikepala sambil mengatakan “Ya Hussein” berulang kali. Dan setelah acara itu selesai, luka-luka itupun hilang tanpa bekas. Dalam penelitian sejarah hampir dapat dipastikan Qameh Zani berawal dari tradisi penduduk Kota Kufah setelah peristiwa Karbala dan pemberontakan Mukhtar At-Tsaqafi. Inilah ekspresi anak-anak keturunan penduduk Kufah yang membiarkan rombongan Imam Husain as dibantai di Karbala. Ekspresi penyesalan yang teramat sangat. Sementara di Persia tradisi Qameh Zani tidak ada sampai awal masa Dinasti Safavid (1501-1722), dan masih belum jelas pula, apakah acara menyiksa diri ini bemula pada dinasti ini atau sewaktu Dinasti Qajar (1794-1925). Sebahagian ahli sejarah menyakini bahwa Qameh Zani ini wujud di zaman Safavid bahkan dikatakan dinasti ini yang mendalilkannya. Pada hari Asyura, penguasa Dinasti Safavid memerintahkan pasukan elitnya yang terkenal dengan nama Fedayeen Qazalbash supaya melakukan upacara ini. Seorang ahli sejarah, Nasrallah Falsafi di dalam bukunya, Tarikh Shah Abbas Kabir (Sejarah Abbas Kabir) yang merupakan salah satu buku sejarah lengkap yang menjelaskan mengenai Fedayeen Qazalbash, menyatakan : “Fedayeen Qazalbash yang senantiasa tidak menutup kepala sebagai simbol kesetiaan pada Hari Asyura. Mereka keluar sambil membawa pedang. Mereka berfikir apa yang dilakukan ini adalah sebagai bentuk satu kesatuan dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat Imam Hussein as. Pada hari ini Imam Hussein as dipanah dan oleh karenanya mereka juga harus mencipta situasi yang sama terhadap diri mereka. yaitu dengan menunjukkan diri mereka sebagai orang yang sanggup berkorban demi Imam Hussein as. Dan inilah yang dikatakan sebagai permulaan Qameh Zani.” Menurut Yousuf Qaravi di dalam buku Tarikh Negari Asyura Thrifat-e-An menyatakan, “Ada kemungkinan tindakan ini. Qameh zani, pertama kalinya dilakukan oleh para sufi dan murid-murid para Darwis, sebagaimana ditulis oleh Pietro Della Valle, seorang pengembara di masa Syah Abbas I. Menurutnya, Kebanyakan para sufi dan Darwish di tempat-tempat tersebut mengubur diri mereka sehingga keseluruh badan, sampai sebagian kepala mereka dalam tanah liat yang telah dibakar, seolah-olah mereka itu dilihat benar-benar dikuburkan. Mereka bertahan di dalam situasi sedemikian dari terbit hingga terbenamnya matahari. Sebahagian yang lain berkumpul di tengah-tengah kota atau di hadapan rumah masyarakat dengan tidak memakai alas kaki dan pakaian kecuali kain hitam untuk menutupi aurat mereka. Mereka melumuri seluruh badan sehingga kaki mereka dengan sejenis bahan yang menghitamkan dan mengkilat. Mereka itu diikuti oleh sejumlah orang yang berpenampilan sama namun seluruh badannya diwarnakan dengan warna merah. Warna merah ini sebagai simbol darah. Semua tindakan ini dilakukan untuk menunjukkan rasa sedih mereka di atas musibah yang menimpa Imam Husein as.” Adapun sumber yang lain pula menduga bahwa Qameh Zani ini diamalkan ketika dinasti Qajar. Berkaitan dengan hal ini, Sejarawan Persia yang bernama Rasul Jafarian menyatakan, “Banyak persoalan mengenai kapan pertama kalinya Qameh Zani dan Sinen Zani (memukul dada). Bagi persoalan ini terdapat dua hingga tiga kemungkinan, namun fakta yang paling tepat yang berkaitan dengan hal ini menyebut bahwa ia berasal dari India. Golongan Syiah pada zaman Dinasti Safavid telah tersebar luas ke India dan seiring dengan perluasan pelabuhan Bushehr dan Shiraz yang mana turut terkena pengaruhnya.” Hal yang sama juga terjadi di Lubnan. Ada segelintir dari ulama yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah orang Parsi tiba di Kota Nabatieh. Mereka mempunyai cara tersendiri (qameh) di dalam memperingati hari Asyura yang seharusnya dicegah. Walaupun Azdari adalah ajaran dari para Imam mereka namun bentuk Azdari yang dilakukan adalah sebaliknya. Sistem Sineh Zani, Zanjir Zani (memukul pinggul dengan rantai) dan Qameh Zani tidak terdapat di dalam teks-teks administrasi Dinasti Safavid. Azdari dilakukan secara persendirian di rumah masing-masing. Apabila mencermati tiga pandangan di atas, nampaknya dapatlah disimpulkan Azdari berakar sejak Dinasti Safavid tetapi tidak dilakukan sepertimana pada hari ini yang telah mengadaptasikan dengan upacara Sufi dan Darwish. Dalam sebuah pernyataan dari Auliya Chalapi, sewaktu zaman Syah Safi mengenai masyarakat Tabriz yang ketika itu menjadi pusat pengumpulan para Sufi (yang menyimpang) dan Darwish, menguatkan fakta di atas. Jika dilihat pada buku Iranian va Azadari Ashoura (rakyat Iran dan Azadari Asyura) menyebutkan, “Ketika pembaca kisah Asyura sampai pada bahagian pembantaian Imam Husein as yang dilakukan oleh Syimr bin Al-Jausyan, ketika itu orang ramai akan mengeluarkan gambar jasad anak-anak Imam yang terbunuh dari kemah syuhada. Mereka yang menyaksikan pemandangan memilukan ini lantas berteriak Wahai Husein dan semua yang hadir menangis. Setelah itu ratusan orang yang hadir mengeluarkan pedang dan qameh lalu melukakan kepala, wajah dan badan mereka.” Argumentasi Pihak yang Melakukan Qameh Zani Para pelaku Qameh Zan (mayoritasnya kalangan Ismailiyyah atau Ghulat, DAN BUKAN dari Imamiyah) ini berhujahkan dengan riwayat meragukan tentang Sayyidah Zainab binti Ali (adik Imam Husain, anak Imam Ali dari Sayidah Fathimah Az-Zahra) hentakkan kepala ke kayu sehingga berdarah. Mereka yang melakukan Qameh Zani ini menyandarkan perbuatan ini dengan sebuah hujjah yang tidak dapat dipercayai. 1. Menurut mereka, Jika Qameh Zani dan melukakan kepala pada hari Asyura tidak dibenarkan, maka mengapa Sayyidah Zainab menghentakkan kepalanya ke kayu sedekup (tempat duduk) di atas unta sehingga berdarah? Dalam hal ini kita perlu melihat kepada dua perkara. Pertamanya, Sayyidah Zainab telah dididik dalam lingkungan wahyu yang tidak mungkin melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh Allah. Kedua, Imam Ali Zainal Abidin sentiasa Sayyidah Zainab dan beliau menyaksikan apa yang dilakukan oleh ibu saudaranya. Jika perbuatan itu jelas bertentangan, niscaya beliau akan melarangnya. Jika tidak dilarang maka beliau telah menunjukkan taqrir Imam itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Abbas Al-Qummi, pengarang buku Mafatih al-Jinan menjelaskan, “Sukar untuk menerima hujjah yang mengatakan Sayyidah Zainab AS melukai kepalanya. Ini karena beliau merupakan wanita yang mendapat gelaran wanita berakal Bani Hasyim (Aqilah Bani Hasyim) dan memiliki derajat Ridha dan Taslim (rela dan berserah diri).” Seorang ulama Syiah, Ayatullah Mirza Muhammad Arbab telah menyebutkan beberapa hujjah kepalsuan riwayat tersebut. Antaranya, riwayat tersebut tidak dinyatakan pada mana-mana kitab hadith yang muktabar, riwayat itu tidak memiliki sanad. Perkara ini sendiri bertentangan dengan pribadi Sayyidah Zainab yang merupakan seorang yang pasrah kepada Allah. 2. Untuk memperingati penderitaan Imam Hussein Hujjah mereka yang menyatakan bahawa apa yang mereka lakukan itu adalah merupakan usaha untuk memperingati musibah yang menimpa Imam Hussein, keluarga dan para sahabatnya. Ini karena, melukai diri itu adalah sebagian dari peringatan pada hari Asyura dan merupakan syiar Ilahi. Maka perbuatan melukai diri ini dikira sebagai menghidupkan syiar Allah bahkan sunnah hukumnya. Pertamanya perlu kita ketahui bahawa setiap perbuatan memiliki definisi dan batasanya. Apabila kita ingin memasukkan sebuah perbuatan itu ke dalam syariat Islam, sudah pastinya kita perlu merujuk kepada Allah dan Rasulnya akan hal itu. Apakah Allah sebagai pembuat syariat telah menetapkannya atau tidak? Di sini peringatan Asyura Imam Hussein juga perlu dilaksanakan berasaskan ketentuan yang telah digariskan. Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini di dalam bukunya Kasyf al-Asrar menyatakan, “Saya juga perlu mengatakan sesuatu yang khusus terhadap acara dan majelis yang dilakukan di atas nama Imam Hussein AS. Kita sebagai orang yang beragama tidak pernah mengatakan bahwa boleh melakukan semua perbuatan. Betapa banyak para ulama muktabar dan para sarjana menyebut perbuatan ini (Qameh Zani) sebagai perbuatan BATHIL, dan berusaha untuk mencegah perbuatan tersebut. Di sini perlu dinyatakan bahwa persoalan Qameh Zani ini tidak ada satu riwayat atau perbuatan seperti itu itu boleh dikategorikan sebagai sebagian dari peringatan Asyura.” Dalam Kitab Wasail al-Syiah, Bab Makruh Berteriak Akibat Duka Cita dan Meratap, Jabir bin Abdullah al-Ansari menyatakan, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir as mengenai sikap tidak sabar. Imam kemudianya menjawab, Tingkat utama dari ketidaksabararan itu adalah berteriak sambil berkata Hoi, memukul wajah, dada dan mencabut rambut yang ada di hadapan kepala. Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk membacakan nyanyian berkabung beerti dia telah kehilangan kesabarannya dan tidak tergolong dari golongan yang sabar.” 3. Menghidupkan Islam Alasan mereka yang ketiga adalah untuk menghidupkan mazhab dan fahaman mereka. Bagi mereka yang pro kepada Qameh Zani mendakwa dengan perbuatan ini mereka dapat menarik orang lain untuk menerima paham mereka. Sayyid Hassan Shirazi menyangkal Hujjah ini di dalam bukunya al-Syair al-Husseiniyyah yang menyatakan, “Apabila ada pembahasan mengenai perjuangan melawan perkara yang haram demi melindungi Islam, maka mengapa tidak berjuang melawan hal-hal haram yang lain? Hujah pelaksanaan Qameh Zani sebagai cara untuk menghidupkan Islam adalah amat bathil. Bahkan perbuatan Qameh Zani ini jelas boleh melemahkan Islam dengan menunjukkan gambaran yang buruk kepada non-Muslim dan sebahagian Muslim yang lain." Allamah Sayyid Muhsin Amin pula menyatakan, “Apabila dikatakan perbuatan ini merupakan sebahagian dari Islam, mengapakah Qameh Zani dilakukan sementara hal itu menyebabkan titik hitam bagi Islam dan penganutnya? Perbuatan ini hanya akan membuat masyarakat membenci dan muak dengan agama.” Imam Khomeini sendiri menyatakan, masih dalam Kitab Kasyf al-Asrar “Kalian ingin melakukan pekerjaan demi Allah. Sedangkan pekerjaan yang kalian lakukan malah merugikan Islam. Oleh karena itu lebih baik jika kalian tidak melakukannya. Contohnya adalah Qameh Zani yang menyebakan Islam lemah, namun tradisi Azadari masih boleh kalian lakukan dengan cara yang baik. Adapun di sana ucapan-ucapan mereka yang masih mahu mengharuskan Qameh Zani dengan menyatakan, Kami melakukan perbuatan ini kerana mengingati musibah yang menimpa Imam Hussein. Disebabkan terlalu kuatnya rasa sedih kami membuatkan kami menjadi seolah-olah tidak waras. Pernyataan tersebut adalah pernyataan orang tak berakal. Apakah status mereka ini lebih tinggi dari para Imam ? Bukankah para Imam begitu patut di dalam melaksanakan perintah Allah? Bahkan Imam Hussein AS di dalam Kitab al-Luhuf menyebutkan, pada malam Asyura beliau berkata kepada Sayyidinah Zainab agar tidak berteriak apatah lagi merobek-robek pakaian. Mereka yang melakukan Qameh Zani seharusnya mengetahui bahwa peristiwa Asyura bukanlah kebangkitan untuk mendidik orang gila lalu mengetengahkannnya kedalam masyarakat. Kebangkitan Asyura mempunyai tujuan agung dan mulia. Imam Hussein AS sendiri mengajarkan kebebasan dan kemuliaan di dalam menjalani kehidupan.” Qameh Zani Adalah Haram 1. Qameh Zani adalah bid’ah Bidah sebagaimana diketahui memiliki dua makna, bahasa dan istilah. Dari sudut bahasa bidah bererti perbuatan baru, sementara dalam istilah bidah adalah menambahkan masalah atau hukum baru ke dalam agama apalagi jika berkaitan dengan ibadat seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal dan Qameh Zani adalah termasuk bidah samada dari sudut bahasa maupun istilah. Dari sudut bahasa, setiap perbuatan baru yang belum terbukti apakah ia termasuk agama atau bukan, jika kelihatannya dapat melemahkan agama, maka dapat dipastikan melakukan perbuatan tersebut adalah haram hukumnya. Qameh Zani juga merupakan perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam, bahkan di masa para Imam atau abad-abad yang masih berdekatan dengan masa hidup mereka. Berkaitan dengan masalah ini al-Syahid Muthahhari dalam buku Jazebah va Dafeah Ali as mengatakan, “Qameh Zani, mengangkat gendang dan terompet adalah budaya Kristen Ortodoks kawasan Kaukasus yang berkembang ke Iran. Disebabkan segelintir pikiran sekelompok dari masyarakat Iran terpengaruh dengan perkara ini, ia seterusnya tersebar di kalangan masyarakat Iran.” Bahkan dengan tegas al-Syahid Muthahhari menjelaskan, “Melukai badan dengan pisau, memukul badan dengan rantai, memukul gendang dan meniup terompet sehingga kini masih dilakukan oleh para penganut Kristian Ortodoks apabila memperingati kematian Isa al-Masih. Pada sudut istilah, secara umumnya apabila seseorang itu melakukan perbuatan yang tidak ada nash (dalil) akan kewajiban atau sunnahnya lalu hal tersebut dilaku dengan keyakinan bahwa hal tersebut adalah wajib atau sunnah maka untuk itu jatuh hukum haram.” Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomeini di dalam Kitab Anwar al-Hidayah (Kitab Usul Fiqh) menyatakan, “Pensyariatan berarti memasukan sesuatu yang bukan agama ke dalam agama adalah sama dengan bidah. Mereka yang melakukan Qameh Zani dengan berniatkan ibadah namun apa yang mereka lakukan tidak mempunyai kaitan dengan agama.” Allamah Sayyid Muhsin Amin di dalam buku al-Tanzih menulis, “Dosa besar apabila manusia yang melakukan perbuatan bidah lalu menyebutkannya sebagai sunnah atau perkara sunnah digambarkan sebagai perbuatan bidah. Banyak hal-hal yang dilarang di dalam upara mengingati Hussein as, seperti berbohong, menyiksa diri, teriakan wanita, menjerit dan lainnya dilakukan atas nama agama namun hal tersebut justru menjatuhkan kehormatan agama itu sendiri.” 2. Citra Buruk Agama Ungkapan melemahkan agama yang dipakai oleh para ulama dalam mendedahkan asal-usul Qameh Zani mempunyai arti apabila seseorang melaksanakan sebuah perbuatan dalam acara Asyura Imam Husein as, dan orang lain melihatnya dan menuduh mazhab Syiah penyebar kekerasan, buas dan khurafat. Jelas perbuatan ini tentu saja melemahkan agama dan membuat manusia menjauhinya. Ini merupakan dalil terpenting terkait haramnya perbuatan Qameh Zani dalam memperingati syahadah Imam Husein AS di hari Asyura. Pada hari ini, terlalu banyak jaringan internet, television dan media anti-Islam di dunia berusaha memburuk-burukan Islam dengan menunjukkan tanyangan mengenai Qameh Zani yang dilakukan oleh sebahagian negara terutamanya di Pakistan. Niat mereka agar Islam itu dipandang sebagai ekstrim dan buas. Malah sebagian mereka memproduksikan foto-foto pelaku qameh dan menyandarkannya sebagai syiar di dalam mazhab Syiah. Perkara ini sendiri pernah disampaikan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khameini, Pemimpin Spiritual Republik Islam Iran 12 tahun lalu ketika beliau melawat masyarakat Mashad. Ujar beliau, “Tatkala Komunis menguasa Azerbaijan pada zaman Uni Soviet, mereka berusaha memusnahkan segala warisan Islam. Mereka menjadikan masjid sebagai gudang sehingga tidak ada kesan-kesan mengenai Islam dan Syiah. Hanya satu perkara yang mereka membenarkan iaitu Qameh Zani. Para pemimpin Komunis memerintahkan rezim mereka agar tidak membiarkan orang-orang Islam melakukan solat berjamaah dan membaca al-Quran namun mereka membenarkan mereka melakukan Qameh Zani. Karena Qameh Zani bagi mereka adalah alat propaganda anti agama dan mahzab Syiah.” Secara kesimpulannya, perbuatan mencederakan diri ini bukanlah dari ajaran Islam maupun di dalam mazhab-mazhab lain. Hal itu hanyalah diadaptasikan dari perbuatan golongan yang sesat lagi menyimpang oleh golongan yang jahil lalu dijadikan sebagai amalan ketika 10 Asyura. Dalam hal ini penulis ingin menegaskan konsep mencederakan diri ini tidak pernah dan tidak akan dilakukan oleh SYIAH di INDONESIA karena Mahzab Syiah yang berkembang di Indonesia mayoritas adalah Mahzab Itsna Asyariyah yang mengharamkan Qameh Zani dilakukan dengan alasan apapun. Dan propaganda selama ini dari kalangan takfiri (mereka yang begitu mudah mengkafirkan muslim) jelas tidak berdasar dan merupakan over-generalisir. Syiah merupakan Mahzab tertua dalam Islam dan telah melewati 1400 tahun penganiayaan dan pembantaian. Tidak akan musnah dengan fitnah-fitnah murahan kaum Takfiri. Disclaimer Tulisan awal berupa catatan di Facebook pada tahun 2009. Pada 14 November 2013 dimuat kembali di Kompasiana melalui akun Reza Syariati pada jam 08:15 dengan url http://sejarah.kompasiana.com/2013/11/14/tentang-tuduhan-melukai-diri-di-hari-asyura-607745.html , namun dua jam kemudian diremove oleh Admin Kompasiana. [caption id="attachment_301897" align="aligncenter" width="891" caption="Print screen-an dari google webcache, bukti bahwa tulisan Reza memang dihapus"][/caption] Terimakasih kepada @pradewitch di (https://twitter.com/pradewitch) yang telah membantu blogger Ketiak ular (http://ketiak-ular.blogspot.com/2013/11/tentang-tuduhan-melukai-diri-di-hari.html) mendapatkan cache tulisan ini dan memposting ulang di blog tersebut setelah diremove dari Kompasiana. Tambahan, tulisan ini di repost ulang di kompasiana karena rasa penasaranku terhadap bentuk "Jurnalisme warga" ala kompasiana. Setelah izin penulisnya sendiri. Bagaimana bisa admin menghapus tulisan yang memiliki sumber rujukan yang bisa di verifikasi kebenarannya? Aku rasa tulisan ini juga tidak melanggar ketentuan dari kompasiana. "Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer."  Kalimat tersebut seharusnya bisa menjadi dalil bahwa tulisan Reza diatas dapat dipertanggungjawabkan validasinya oleh Reza sendiri terutama jika terkait dengan sumber rujukan tulisan yang dicantumkan. Jika tulisan Reza diatas berhak dihapus karena kebijakan admin kompasiana (apakah mungkin menyangkut SARA?), kenapa tulisan ini Asyura dan Peringatan Kematian (http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/11/15/asyura-dan-peringatan-kematian-608037.html) tidak dihapus juga? Apakah yang boleh memposting tentang Asyura adalah orang yang tidak tahu tentang syiah itu sendiri? Jika begitu, Kompasiana telah gagal mengakomodasi "Jurnalisme Warga" yang selama ini dibanggakan-banggakan. Kompasiana juga gagal jadi corong kebebasan berpendapat. Oh iya, aku juga bukan akun anonim dengan nama Jilbab atau semacamnya yang tidak dapat dikonfirmasi tentang kevalidan data maupun lainnya lho. Aku pikir postingan ku tidak bisa dihapus sak udele admin dewe. Akunku asli, orangnya benar-benar ada dan bisa ditemui walau profilnya belum diverifikasi admin.  Sebagai orang yang pernah menikmati nikmatnya ngeblog lewat kompasiana dan sempat mengajak beberapa teman gabung di kompasiana, aku benar-benar kecewa dengan kebijakan admin. :((

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun