Â
RUANG politik publik yang terbuka lebar saat ini, memberikan kesempatan 'ikhlas' bagi rakyat untuk menyatakan apa saja tentang keinginan-keinginan politisnya, mewujudkan harapan-harapannya dalam bentuk kumpul-kumpul resmi dan konstitutif. Menjelmakan keinginan-keinginan itu dalam bentuk program kerja 'konstruktif' dan kemudian ditawarkan dalam bentuk iklan dan gombalan.
Di setiap sudut-sudut ruang publik partai tumbuh seperti cendawan pada musim hujan. Nama bertaburan, lambang dan program terhamparan. Demam partai menjangkiti rakyat. Rasa sakit selama ini untuk menemukan saluran-saluran aspirasi menuju ke wakil-wakil rakyat telah terjawab tetapi menimbulkan konsekuensi rasa sakit baru yakni keliaran dalam menanggapi perbedaan.
Mulai dari pusat kota dengan pinggir jalan, trotoar, gedung-gedung dan tempat-tempat umumnya sampai di dusun-dusun terpencil yang sunyi dengan tiang-tiang rumah, pendopo kelurahan bahkan puncak bukitnya dipenuhi warna-warni bendera partai yang berkibar ditiup angin seperti mengibarkan nafsu untuk memenangkan pemilu yang diprediksi banyak pakar bakal menggelepar -- chaos setelah itu gagal (Tetapi semoga saja pemikiran bernada pesimistis itulah yang bakal gagal).
Koran-koran, televisi, radio sampai obrolan warung kopi sibuk membahas persoalan partai. Terkadang menjagokan salah satu partai, memuji-muji dan memberi hati kemudian pada saat yang hampir bersamaan mengolok-olok dan mengejek bagi partai lain yang tidak masuk dalam rumusan kesepakatannya. Sepertinya memang kita belum siap untuk saling mencintai dalam perbedaan karena barangkali kesiapan itu telah dibonsai oleh rezim otoriter -- kalem masa lalu. Kita dipaksa hidup untuk menikmati kebersamaan dalam kenyataan perbedaan. Sungguh memang sebuah pengingkaran terhadap benih-benih demokrasi yang telah dalam ditanamkan dalam kesadaran kita.
Ruang publik pada sisi lain masih ditemui kebodohan dan keawaman politik, pengetahuan mereka hanya pada tingkat pengenalan figur, nama partai, warna serta lambangnya atau pemahaman yang selama ini terawat di kepala bahwa politik itu adalah sesuatu yang kotor dan busuk, saling mengkhianati diam-diam atau terang-terangan, arena untuk korupsi dan menggunakan wewenang sebebas-bebasnya atau yang sedikit lebih halus bahwa politik adalah kecemasan mempertahankan kekuasaan dan kecemasan merampas kekuasaan, politik bagi mereka sesuatu yang tidak 'bermoral'. Walaupun banyak pakar telah memberi label masyarakat sebagai masyarakat yang dewasa, yang dianggap bisa membaca situasi politik yang mentas di panggung dan dianggap bisa menentukan dengan 'benar' pilihan mana yang akan dipilihnya.
Tetapi kita tidak bisa menutup mata akan kebiasaan masa lalu yang terbina begitu sempurna tentang praktek-praktek money politic untuk menggaet massa. Money politic ini adalah bentuk pembodohan politik berlangsung tidak hanya pada jajaran elite politik tetapi juga berlangsung (bahkan berlebihan) pada jaringan kelas sandal jepit yang memang awam akan politik.Â
Dan kenyataan itu melahirkan pertanyaan, benarkah rakyat secara umum dan secara khusus yang berdiri di pinggir-pinggir panggung politik biasanya hanya berposisi sebagai penonton dan tepuk tangan telah memiliki bekal pengetahuan politik riel sehingga dianggap bisa diajak ikut main dalam sandiwara politik, padahal tontonan politik itu hanya menghasilkan pengetahuan politik imaji bagi mereka?
Riuh rendah suara partai-partai mengingatkan kita pada hiruk-pikuk pasar kaki lima. Di sana segala jenis dagangan digelar. Berbagai merk dan produk mulai dari kualitas rolex sampai mutu handuk lap keringat. Di sana kita bisa mendengar retorika iklan dalam menawarkan dagangannya, mulai dari retorika porno sampai pada retorika  mendayu lembut. Kita bisa menyaksikan langsung karakter-karakter manusia penjual, mulai yang sangar sampai kemayu.Â
Daya tawar menjadi mainan yang pasti, pembeli ingin murah sementara penjual tidak mau rugi. Konsep saling menguntungkan sulit terdeteksi karena arus gombalan begitu dahsyat mengisi setiap tawaran. Kenyataan menggelikan adalah persaingan politik dagang yang tidak sehat.Â
Masing-masing pedagang masih sulit melepaskan diri dari jebakan pemikiran yang primordial yang kaku dan ego atau senang memuji barang dagangan sendiri dan mengesampingkan pengakuan akan kebaikan dagangan pedagang lainnya. Pasar seperti biasa hanyalah sebuah hiruk-pikuk romantis untuk melampiaskan dendam kebutuhan materi. Sisi moralitas yang berada dibalik materi menjadi pertimbangan nomor sekian juta dari nomor utama yakni keuntungan.
Sekarang kenyataan keberadaan multi partai mendesak rakyat untuk mencari format menurut pengetahuan mereka sehingga perasaan terwakili itu tidak hilang atau agar tidak lagi dijadikan sebagai obyek proyek politik negara. Sementara pada kenyataan lain pengetahuan rakyat tentang politik dan tetek bengeknya masih samar-samar bahkan buram. Sehingga mungkin konsep pemilu ideal yang diterapkan akan kurang maksimal terpenuhi.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan politik tingkat atas juga sudah maksimal? Jika kenyataannya kita masih sering mempertontonkan budaya saling memfitnah, saling menjelek-jelekkan, saling mengkambinghitamkan bahkan menghujat terhadap lawan politik yang seharusnya menjadi patner politik. Kita masih senang mengakui sendiri bahwa memang masing-masing kita belum dewasa menerapkan kebijakan politik.Â
Dan yang lebih parah adalah benturan elite politik yang eksesnya konflik horizontal, rusuh sosial menjadi makanan empuk konflik elit. Sebab hubungan horizontal dan vertikal adalah sesuatu yang tidak terpisahkan. Lalu apalah artinya kehidupan bersama jika masing-masing kita masih memandang persoalan krusial sebuah bangsa masih kekanak-kanakan juga, main politik sambil melap ingus atau main politik sambil main kelereng. Dan kerusuhan pun seperti permainan juga, nyawa juga permainan, harkat kemanusiaan pun sama saja. Dan tanpa sadar kita melepas pelan-pelan orientasi utama sebuah lagu gerak politik yakni memanusiakan sistem kemanusiaan.
Ruang publik yang telah terbuka lebar ini benarkah juga indikasi terbukanya sekat-sekat otoritarian dan memunculkan mahluk bernama demokrasi. Demokrasi yang selama 32 tahun hanyalah sosok boneka cantik yang dirawat di etalase kekuasaan orde baru.
Mungkin kenyataan multi partai adalah langkah awal dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh menuju ke alam politik demokrasi, politik yang menyuburkan potensi-potensi kerakyatan (marjinal secara struktural, ekonomi dan intelektual) yang mengalami pengkerdilan selama beberapa masa. Tergantung bagaimana kita mengelola akumulasi masing-masing keinginan kita yang berwarna-warni itu sehingga tidak merepotkan dan menyusahkan kita sendiri.
Tetapi kalau format pedagang kaki lima kita pakai dalam memproses bahan baku demokrasi menjadi sebuah produk demokrasi. Barangkali ada baiknya kita teken kesepakatan untuk mengundurkan diri dan menjauh dari pergulatan politik keuntungan sesaat dan biarlah 'demokrasi' muncul sendiri lewat kerusuhan demi kerusuhan dan kegalauan demi kegalauan atau lewat mimpi buruk revolusi berdarah. Biarkan Tuhan ikut ambil andil langsung dalam memecahkan persoalan bangsa kita dengan menanggung konsekuensi kepedihan begitu dahsyat dan menyayat.
Sekarang rakyat tidak ubahnya 'membeli' partai di pasar kaki lima. Setelah malam tiba pasar biasanya bubar tinggal suara jangkrik menderit di telinga dan dengung malam yang sunyi. Demokrasi juga tinggal sepi sendiri dan pergi entah kemana. Dan setelah malam berlalu, pagi menjelang kita kembali bersiap-siap menggelar pasar, lalu kembali bermain sirkus demokrasi yng tidak lucu.
13 April 1999
#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Tanda Pustaka, 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H