BUNGA
Kelopak bunga mekar di ujung badik, menikam dada perempuan, berdarah. Genang di telapak tanganku dan kita baru tahu wajah ini, genap cinta. Cinta daun-daun cinta ranting-ranting cinta pohon-pohon cinta gunung-gunung cinta sungai-sungai. Tangkai mawar plastik berakar di dada, kita bawa berlari di jagat fana, menembus kabut nanah kabut darah. Karena anggur kehidupan bunga kita layu di belukar rasa, karena cinta daun-daun ranggas, cinta pohon-pohon tumbang, cinta batu-batu luluh, cinta ranting-ranting patah, cinta gunung-gunung hancur, cinta sungai-sungai kering. Dan padam pelita di jiwa raga, terpasung tersalip dosa. O tanganku berdarah tengadah meraba bulan di langit kuasa-Mu.
SEMESTA TAK BERMAKNA
Lingkaran bulan di atas rumput, suara terpatah-patah menyebut nama. Mata-Nya awas jamah seluruh, pena-pena patah di genggaman dan suara beku di tenggorokan, itulah waktu itulah ruang. Ketika lingkaran bulan di atas sukma hendak membahasakan hidup dan kematian. Air bersisik cahaya, mata gulita mengeja malam. Gerak-Nya rambah seluruh penjuru, hari mati di ujung lidah dan nyanyi langit jadi sunyi. Adalah waktu adalah ruang. Ketika cakrawala bulan melingkar membentuk semesta tak bermakna.
Sumber Puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H