SAJAK ADUH SEORANG PEMBANTU
Itulah aku di piring makananmu yang menumpuk sehabis makan malam, bersama sisa-sisa harapanmu yang tertinggal setelah ia menjadi sampah bagimu. Dan setelah malam ini, jalan di seluruh kota aku sambung menjadi bentangan yang tak terhingga di jantungmu, tetapi ia menjelma uap di bibir kaleng coca-colamu. Aku jilat di telapak tanganku sebagai keringat yang tinggal asin sebab manisnya telah menumpuk di lemak perut dan pantat istrimu. Itulah aku yang kau asingkan di rumah megahmu yang tak bernafas.
MENGEJA ZAMAN
Perjalanan menjadi salju di ubun waktu, merampas suara dalam diri yang sementara berlagu. Kehendak menyalip diri pada sayap burung mati karena api berdenyut sebagai nadi pada jemari  angin, yang pada malam semalam enggan mencipta rembulan sebab kesuburan asmaraku meringkuk dalam batu.Â
O cintaku, nyalakan televisi itu dalam rahimmu biar kujamah remotenya  agar tak gamang awan yang menggantung di sudut-sudut langit. Dan pakaian hitamku jadi padam berganti salju putih yang menghampar pada jiwa.
Perjalanan yang hanya aspal, pasir dan batu-batu, hendak kau seret kemana perempuan etalase itu yang khusyuk berdoa dalam kotak-kotak bajumu, sementara nafas memerah di bibirnya. Jika malam tiba mereka mencari gelap dan tetes air dari mulut botol wiski membentur muka batu hitam di bawah kursi tertinggal cahaya.Â
O cintaku, bunyikan lagi radiomu, di pangkuanku bulan kehausan sinarnya. Biarkan chanelnya meramu embun pagi di frekuensi nol sebab mulut zaman penuh kata-kata dari ludah pelacur.
Sumber Puisi: Syafrruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H