Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan, Mendekam di Sunyi

6 November 2022   08:27 Diperbarui: 6 November 2022   09:03 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEREMPUAN, MENDEKAM DI SUNYI

Musik itulah tubuhnya, mengalun memasuki pori-pori sunyi, pada setiap swalayan memasung patung sunyi. Itulah tubuhnya yang berkeringat dingin dihantui sunyi. Tertawa lepaspun seperti denting besi-besi bersileweran, pun sunyi. Dengan pura-pura menggaruk kaki yang kusta adalah sunyi, miliknya.

Perempuan itu pejalan sunyi.

Menerobosi bintang-bintang di tengah langit juga sendiri. Menemani wajah kekasih yang terpasung sendiri, dengan derai air mata bercerita sendiri. Perempuan seluruh dirinya meleleh luka tersayat kesendirian. Dalam kembara mencari wajah kekasih. Dalam batinnya sunyi hanya sanggup membelai rambut rembulan dengan jemari hati yang bisu. Tetapi masih terasa mata bunga itu, bergerak sejuta tahun lagi. Rindunya duka dan belum sembuh.

Perempuan itu pejalan bisu.

Yang telah sejuta purnama di tangannya mendekam bisu. Kata-katapun bisu keluar dari mata bisunya. Dirinya diterkam kebisuan jagat jiwanya. Duduk memeluk sunyi memangku bisul-bisul dadanya yang penuh: mengandung bisu sangat sempurna. Kebisuan itu tak berkesudahan.

Perempuan sunyi perempuan bisu.

Berjalan tertatih di lorong yang diam. Mencari aroma wangi yang mungkin saja tergeletak di trotoar waktu, untuk sekedar menitip butiran keringatnya, di ujung-ujung resah anak-anak zaman. Senja mulai tumbuh dalam dadanya. Perempuan sunyi perempuan bisu adalah pengembara senyap yang menggendong bulan terluka di punggungnya, mencari Yang Hilang. Sesaat menjelang gelap tiba di istana malam, perempuan itu melempar senyumnya padaku lalu bergegas masuk ke rahim angin.

#Sumber Puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun