ANAK-ANAK TAK BERNAMA
Anak-anak berenang di sungai genap keraguan. Rakit bambu gemeretak di goyang gelombang, memecah suara peradaban yang melintas di jembatan. Di bibir sungai menanti ribuan melati, entah hendak menyeberang kemana nanti.
Sementara perahu masih di perjalanan di kawal gelombang dan badai. Layarnya terdengar mengepak lirih pada hati. Kabar angin: sungai-sungai di hati mulai kehilangan air, kemarau telah datang mencengkeramkan kuku-kukunya yang panas.
Kemana suara tangis bayi pada pangkuan bunda hendak di bawah? Sementara kereta senja belum juga terkabar. Anak-anak gelisah dipermainkan gelombang zaman. Anak-anak kehilangan baju warisannya, di tinggal sejarah kehidupan modern yang pada kelaminnya birahi meronta-ronta.
PEDAGANG SUNYI PASAR BEBAS
Ketika melintas, perempuan itu berucap setubuhi aku. Â Bagaimana?! Matamu penuh darah, tetekmu penuh panu dan jualan di depanmu menunggu bisu ditindih bayang hitam masa depan. Sementara ombak di dadaku mati memecah karang.
O etalase zaman, yang tawarkan sehampar birahi. Bangkit nafsu botol-botol yang tergeletak di pinggir jalan dan memperkosa patung-patung dalam departemen storemu. Tanpa sadar akupun singgah memoles gincu pada kemaluan di depan cerminmu. Tubuh-tubuh berjalan telanjang berpoles nanah sebab dikuliti iklan-iklan yang menjual kesucian  dengan kebohongan.
Kenapa kau masih berbisik: setubuhi aku. Kau hanya perempuan pedagang sayur kangkung yang tumbuh di comberan hotel-hotel mewah. Bakulmu hanya memuat bisu dan kau adalah sunyi di alam hiruk-pikuk transaksi pasar global.
Sumber Puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H