Sebuah kubah masjid roboh, luluh lantak. Kemegahannya hangus, dilahap nyalah api yang mengamuk. Mesjid Raya Jakarta Islamic Centre, yang sedang renovasi, terbakar pada Oktober 2022. Kebakaran karena 'kecelakaan kecil', membuat kerugian yang tidak sedikit. Mesjid yang dibanggakan, sementara tidak bisa digunakan tunaikan ibadah.
Kubah, seringkali merupakan simbol arsitektur utama bangunan peribadatan. Simbol yang merefleksikan makna agung, mulia dan suci. Sebagaimana semua orientasi arsitektur suci, keseluruhan strukturnya adalah penggambaran 'atmosfir ibadah'. Tempat manusia melaksakanan hajat sucinya sebagai hamba dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Kubah, sebagai 'pertanda' akan Kekuasaan dan Keperkasaan, yang menaungi, yang melingkupi: membuat yang berada didalamnya  menjadi 'pihak' yang kecil.
Kini kubah itu hagus terbakar, menjadi puing tiada arti. Mungkinkah ini juga sebuah pertanda zaman, sebuah simbol, sebuah gejalah 'metafisik', yang harus diartikulasi dalam kerendahan hati. Bahwa kekuasaan dan keperkaaaNya, telah 'runtuh' meninggalkan kehidupan manusia di akhir zaman. Membiarkan manusia dengan dirinya sendiri (nafs). Sebab, selama berabad-abad manusia juga telah meninggalkanNya, tidak mempercayai Kekuasaa dan KeperkasaaNya. Manusia hanya mempercayai pengetahuan dan kemampuannya sendiri, dalam sains dan tehnologi.
Kubah terbakar api. Api ibarat nasf yang sombong, menantang Tuhan. Manusia enggan lagi mengikuti dan mendengarkan perintah agung, mulia dan suciNya. Maka dibarkanlah manusia hidup dengan diri/nafs-nya. Mungkin, Tuhan telah mengangkat keagungan, kemuliaan, dan kesucian zaman akhir. Maka, nampaklah dunia dalam 'kekacauan' yang tak terkendali. Wallahu a'lam.
Di Istanbul, Turki, terdapat sebuah kubah agung. Keagungannya memiliki dimensi surgawi. Bertengger diatas bangunan kuno sejak kurang lebih 1500 tahun lalu. Aya Sofya, masyarakat Turki menyebutnya. Dalam Bahasa Yunani, kita mengenalnya dengan Hagia Sophia. Sebuah bangunan klasik, yang konstruksinya didedikasikan untuk 'kebijaksaaan suci'.
Syekh Nazim al-Haqqani (qs), punya cerita mengenai sejarah rekonstruksi kubah Hagia Sophia. Kisah yang beliau peroleh dari Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (qs). Salah seorang guru agung dalam silsilah emas pembimbing rohani di 'jalan' Naqsyabadi. Â Beliau berkisah tentang gereja Aya Sophia: itu adalah sebuah masjid, tetapi pertama dibangun sebagai gereja.
Bangunan Hagia Sophia tegak takzim di tengah kota Istambul. Kota yang terlentang tenang di selat Bosparus. Bentangannya membela laut menjadi Marmara dan laut Hitam. Kota dengan catatan sejarah panjang. Merentang dari era klasik Bizantium hingga era modern Erdogan. Satu sisinya berada ditepian benua Eropa, sisi lainnya di tepian Asia. Hagia Sophia menjadi salah satu situs 'abadi', saksi atas jalan rohani manusia, dalam sejarah kota Istanbul.
Dalam catatan syuhbah Syekh Nazim, beliau mengatakan: mereka berusaha membangun Aya Sophia ini sebagai penanda bagi gereja di Timur, vatikan di Barat. Tetapi setiap kali mereka berusaha membangun kubahnya, karena ukurannya begitu besar, kubah itu menjadi retak dan mereka tidak pernah bisa memperbaikinya. Sampai mereka mendengar tentang Nabi (saw) di Arabia, karena Rasulullah (saw) mengirimkan surat kepada kaisarnya.
Jejak bangunan Hagia Sophia ditemukan sejak abad 3 Masehi, ketika kekaisaran Romawi berpidah ke Bizantium, lalu berganti nama Konstantinopel. Sepanjang 3 atau 4 abad setelahnya, bangunan agung itu, entah dalam fungsinya sebagai katedral, basilika ataupun gereja, silih berganti mengalami kehancuran. Baik karena perang saudara atau pemberontakan, maupun karena bencana alam. Hingga kemudian pembangunannya dicanangkan kembali Kaisar Bizantium Yustianus Agung, sekitar abad 6 Masehi. Se-waktu, dengan Nabi SAW ketika mengemban tugas kenabianya, seputaran Makkah dan Madina, antara 17 - 18 Hijriah. Disain Hagia Sophia dirancang ahli ukur Yunani, Isidore dan Anthemius.