Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

3 Puisi: Tangis Sendu Baris Sajak, Lonceng Purba dan Kartu-Kartu Nasib

19 Oktober 2022   10:55 Diperbarui: 19 Oktober 2022   11:02 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TANGIS SENDU BARIS SAJAK

Rindu yang bernanah-nanah dimana hendak aku musnah. Burung yang dulu belajar terbang, sampai kini belum kembali. Kemesraan kembang-kembang halaman rumah; rama-rama yang bermain dekat bulan dan di sungai-sungai aku mandi cinta: menjadi kusut di peraduan nasib. Sunyi berdarah-darah, kepada ibu menyanyi doa-doa sembilan zaman, kepada ayah mengarak aku di padang kemesraan. Bersimpuh aku di hadapanMu; sampaikan rindu dan cintaku padanya. Hanya tangis sendu berikut baris sajakku.

LONCENG PURBA

Lonceng purba berdentang punah. Sukmaku mengalir di hutan-hutan. Gereja tua nampak kosong. Hanya daun-daun melantunkan bait-bait sunyi. Kehampaan cinta kekosongan rindu menjelma lukisan mati pada dinding bisu. Cericit manyar di jalan setapak, menyanyi haru. Potret diri dibingkai lapuk, mengulum luka baris waktu. Kata-kata di mulut berubah salju. Hamparan makna duka zaman.

KARTU-KARTU NASIB

Kartu nasib kita banting di meja peraduan luka duka. Mulut sudah berbusa mengunyah waktu, sementara busa itu, hanya, busa. Pada kartu merah yang pada garis tengah makin tak pasti. Terkunci! Angka-angka buram tak terbaca lagi. Lembaran waktu kusam, kartu nasib kita balik lagi di jalanan zaman penuh kusta. Perkelahian kita di pentas abad menjelma belukar lara kemanusiaan, sehingga detak nadi tak lagi bernyanyi pada nurani. Alir darah tak lagi basah dalam sungai-sungai rasa, sebab terbakar api kegilaan kita, yang mengunyah kebodohan dan leleh busanya menumpuk, pada kartu-kartu takdir yang berderet tanpa ujung.

#Sumber puisi: Syafruddi (shaff) Muhatamar, Sujud, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun