Seperti batu suiseki yang lahir dari polesan ribuan tahun musim yang melintas alam. Ia lahir sebagai kualitas tak tertandingi: kekerasan berpelukan mesra kelembutan, diatas permukaan keindahan, yang tiada banding. Meskipun awalnya suiseki adalah batu biasa, tergeletak serampangan disisi kali berlumpur, tidak diperdulikan pejalan kaki.
Demikian pula arah biografi kepenyairan. Dari sajak-sajak yang bermula, penuh makna ‘kekanak-kanakan’: kata-kata berlarian kegirangan penuh semangat yang tak rapi, ‘ikut-ikutan’ menjadi gaya yang khas dan ‘gagah-gagahan’ menjadi dominan disetiap goresan pena bergerak. Hingga pada periode, ketika puisi-puisi itu adalah dirinya sendiri, yang matang sebagai ‘anak alam’. Lahir dari Rahim semesta makna yang sempurna.
Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah termasuk sajak-sajak yang bermula. Ditulis ketika cinta pertama tak tertahankan lagi pada puisi. Sehingga apa yang terjadi ‘didalam diri’ dan ‘diluar diri’, senantiasa mendesak untuk dijelmakan dalam irama kalimat-kalimat penuh sayap. Terkadang hanya permainan kata. Makna tersembunyi dalam lipatan-lipatan tanda, yang hadir tak beraturan. Atau makna begitu lugu, meluncur dari pertanda yang sok rapi. Bahkan gaya menjadi status qou yang tak mandiri.
Demikianlah puisi sebagai dunia samar. Terkadang harus dijelaskan ‘rahim’ tempatnya lahir, agar keraguan menjadi kepastian yang tak bertopeng. Dan bahwa tetaplah makna itu senantiasa hadir dengan caranya sendiri. Termasuk dalam segala kedirian sajak-sajak berikut ini.
Periode penulisan sajak-sajak ini dimulai tahun 1997 hingga 2000. Pengalaman batin dan empiris dalam ‘jatuh cinta’, renungan atas realitas sosial hingga kemungkinan ‘sikap religius’: bercampur baur sebagai tema-tema utama dalam sajak-sajak. Penulis mengucapkan selamat menikmati.
SM
2007, diperbaharui 2020. Â Â
KEMATIAN
Tak terbaca sepi yang kau tulis pada kelopak kembang kuning, manakala matahari bening. Anak-anak tak berumah lagi di kelopak daun. Dan aku dengar rintih ranting-ranting. Malam berangin duka. Alir air menghibur bulan yang jatuh pada batu. Tinggal pakaian Ayah terpasung sunyi dalam lemari. Sepasang terompahnya menunggu bisu. Anak-anak belum juga kembali. Resahmu berbahasa bayang di kursi ruang tamu yang kosong, memandang potret keluarga, yang menata kata tanpa makna.
Yang awalnya tangis akhirnya adalah tangis, telah silih berganti bernyanyi. Hanya sepi ini semakin menjadi, ketika janjiNya harus dipenuhi. Hingga sepi itu tak terbaca lagi, pada kelopak mata air bening.
#Sumber, Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, Tahun 2007