GEORGE W. BUSH
Aku melihatmu memasuki caf dengan langkah gontai, ditemani malam lengang yang merambat di tubuh New York. Sebuah kursi terpencil disudut ruang, yang menyingkir dari cahaya kerlap-kerlip lampu, kau pilih sebagai teman dalam sunyi. Seteguk dua teguk bir melewati tenggorokanmu yang kering setelah berpidato tentang terorisme di lapangan rumput dunia yang terbakar, karena musim merampas semua kesejukan yang berbaring di puncak-puncak bukit.
Tuhan bagimu terasa dekat waktu itu, ketika matamu menerawang ke langit-langit caf yang suram, membayangkan Saddam terkapar dan tertindih puing-puing istananya. Dan lorong-lorong Irak dipenuhi jerit ketakutan lalu berdanau-danau minyak mengalir dari gurun pasir menuju lambung kotamu yang miskin.
Suara-suara klakson menderu di luar cafe yang membeku dicengkeram ketidakmengertian. Seakan-akan suara tepukan anggota parlemen yang memuji lamunanmu. Bahwa isu terorisme akan menaikkan pangkat negaramu sebagai anjing penjaga peradaban manusia.
Aku melihatmu memasuki pintu lain dalam bilik jiwamu, dengan langkah layu ditemani kunang-kunang Manhattan yang cahayanya bersinar penuh keraguan. Sebuah sofa berwarna bulu domba putih yang halus bertapa seperti menunggu kedatanganmu.Â
Jiwamu bersandar padanya laksana anak kecil yang merebahkan tubuhnya dalam lengan lembut bundanya yang kuyup air kasih Yesus, tanpa deringan telepon para kolega dan tumpukan proposal perdamaian dan Kerjasama, juga jadwal-jadwal kunjungan sepadat lebah di sarangnya hilang entah kemana.
Kepalamu tertunduk syahdu menatap hamparan-hamparan salju yang sehalus kulit bawang, seperti menantang dada kesombongan patung liberty yang meneriakkan kebebasan Amerika dari sudut kota.
Hening kehilangan dengungnya, juga suara ketinggalan kata yang berangkat ke jantung bisu. Namun kosmos yang damai itu tidak membawamu kemana-mana. Kelopak mata jiwamu yang terbuka hanya menemukan bayanganmu yang melangkah gontai memasuki sebuah cafe ditemani kelam batin malam New York yang gelisah, menemukan tuhan dalam busa-busa bir yang meleleh di bibir gelas kaca setelah mabuk hasrat kebencian pada kebenaran sejati.
Jiwamu kesepian seperti gelandangan yang terbuang dari belaian bunda kehidupan. Dan keesokan paginya kau temukan dirimu terkapar di depan pintu caf tanpa kepak sayap-sayap merpati yang biasanya bercanda ria di taman-taman kota, tanpa matahari, juga mata telah disapu kabut musim dingin ketidakperdulian.
New Yorkmu lengang kelu lidahnya di pagi hari sebab ketakutan sejati telah menampakkan wajahnya disetiap pelupuk hati yang menanggung dosa.