WARNA HIDUP YANG MENGECUTKAN HATI
Bergembira di atas tetesan air mata yang mengalir, hatiku kecut terasa oleh lidah yang telah berdusta. Korban telah bergelimpangan disetiap jalan yang  dirintis para nabi dan manusia suci, tapi jiwa-jiwa disini masih bersenda gurau tentang kenikmatan malam dan keceriaan siang duniawi.
Aku menjadi dungu, memberi nama zaman yang sedang dilewati kaki-kaki suci ini. Kabut tebal menempel disetiap dinding hati yang tertawa, buram sudah cermin tempat Ahmad dulu berkaca dan setiap mata tidak lagi melihat dirinya yang asli. Menatap setiap mata yang dahulu telah berikrar padaNya dalam dinding Rahim yang kokoh dan lembut.
Hasrat rendah menghempaskannya bersama debu yang terguling di atas tanah kering. Hatiku kecut terasa setelah tawa terlepas bebas diatas riak air mata mengalir para pecinta yang sungguh-sungguh.
MENJADI BAYI
Lentik jemari bayi yang mungil menghitung setiap detak jiwanya yang lembut, setiap detak adalah kepasrahan diri pada Tangan Kasih Sayang. Tubuh yang selembut pucuk daun sutra terbaring manja dalam dekap lengan semesta yang terayun oleh angin sepoi di musim angin.
Dimanakah jiwa akan berlari untuk berlindung, ketika derita panjang kekalahan sejak hembusan terakhir nafas Muhammad hingga terkuburnya jejak-jejak khalifah di taman kembang-kembang plastik zaman ini, masih saja setia menemani perjalanan meniti sejarah  mencari sumur peradabanmu sendiri?
Denting hening di rongga malam yang gulita, jiwa bayi mengeja setiap desah nafas berdoa, yang merindu dalam rintih cinta tertahan. Penantian tanpa tapal batas adalah kepasrahan yang berdenyut dalam jiwa yang lahir dari derita Daud.
Kemenangan pasti bagi hati-hati yang didera derita adalah menjadi bayi yang menyerahkan segenap jiwan pada rangkulan Tangan Yang Berlumur Kasih.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â